Quantcast
Channel: Indonesia Youngster Inc.
Viewing all 133 articles
Browse latest View live

Cut Nisa Amalia

$
0
0
Cut Nisa Amalia

Saya ingin terus berkarya di dunia digital, mungkin 10 tahun lagi saya bisa punya usaha sendiri di dunia digital. Saat ini, saya masih mau curi ilmu dulu di beberapa perusahaan, karena saya masih ingin berkembang di bidang ini,” tutur Cut Nisa Amalia, Head of Digital Pocari Sweat, saat ditanya ambisinya di masa depan.

Ya, Nisa banyak menghabiskan dunia kerjanya di industri digital dan periklanan. Sejak lulus D-3 Jurusan Public Relation Universitas Indonesia (UI) tahun 2006, dia sempat bekerja di perusahaan periklanan selama empat tahun. Lalu, dia melanjutkan kuliah S-1 manajemen di UI dan berkarier di Grup Wings dengan jabatan terakhir spesialis pemasaran digital.

Cut Nisa AmaliaWaktu itu, Nisa mengaku dibajak Wings karena perusahaan raksasa pesaing Unilever itu, sedang mengembangkan divisi baru, yaitu digital. “Jadi saya memang benar-benar memulai dari bawah untuk digital. Digital itu luas banget, kalau biasanya orang komunikasi lewat TV sempit, karena tidak tahu reaksi konsumen, maka di digital bisa komunikasi dua arah sekaligus ada engagement konsumen,” ujar wanita kelahiran Jakarta, 12 November 1988 ini. Hal ini terjadi, lanjut Nisa, karena di dunia digital ada media sosial yang di dalamnya ada Twitter, Facebook dan Instagram. Wings juga mengelola website agar orang lain bisa engage, salah satu caranya dengan membuat aktivitas digital – strategi dari internal perusahaan, sedangkan eksekusi dibantu agensi.

Saat ini, Nisa baru sekitar empat bulan di Pocari. Kepindahannya dari Wings ke Pocari karena alasan klise: menyukai tantangan baru. Menurutnya, kalau lima tahun lalu terjun ke dunia digital, kita akan menjadi pionir. Namun, sekarang tantangannya tentu lebih besar karena semua perusahaan sudah go digital.

Tantangan lain? “Bagaimana kami bisa stand out di antara yang stand out juga. Kalau lima tahun yang lalu kami membuat sesuatu bisa booming, karena yang lain belum ada. Di Pocari ada slogan: doubt the commonsense. Jadi, kami tidak mau membuat sesuatu yang biasa. Kami harus membuat sesuatu yang luar biasa, yang belum pernah dilakukan oleh orang lain. Prioritas Pocari adalah mencari insight baru yang membuat kami berbeda dari yang lain. Harus menggali lebih dalam. Nah, gunanya media sosial kan itu untuk menjalin komunikasi dua arah,” ungkap nomor dua dari tiga bersaudara ini.

Bagi Nisa, mulai dari nol lebih mudah ketimbang start dengan posisi sudah di atas. Di dunia digital, Pocari Sweat lebih matang dan dewasa. Tantangannya sekarang, bagaimana caranya tetap berada di atas. “Kami juga selalu ditantang oleh manajemen Pocari untuk membuat sesuatu yang beda dari yang lain,” ucapnya.

Dijelaskan Nisa, Pocari Sweat belum lama ini meluncurkan aplikasi baru yang dinamakan Lunar Dream Project. Salah satu dukungan dari tim digital Nisa dkk. adalah membuat aplikasi ini untuk Android dan iOS. Kampanye ini sebenarnya untuk worldwide dengan misi menjadi merek pertama yang mengirimkan Pocari Sweat ke bulan. Sebab misi seperti ini atas nama merek memang tidak pernah ada sebelumnya. Inilah yang menginspirasi Pocari Sweat. Hal ini dilatarbelakangi hasil penelitian tahun 2009 bahwa bulan memiliki air yang sama dengan bumi. Kampanye worldwide ini dari Pocari Sweat Jepang, bekerja sama dengan Aero Scale Singapura. Nantinya produk Pocari akan dikirimkan dalam bentuk time capsule pada musim panas 2016.

Target iklan Pocari Sweat terbaru ini ditujukan bagi anak-anak yang masih kecil supaya mereka bisa memiliki mimpi terbang ke bulan dan menemukan time capsule tersebut pada 30 tahun kemudian, misalnya. Tantangan yang dihadapi Nisa sebagai Head of Digital Pocari saat ini adalah munculnya beragam umpan balik dari konsumen atas efek media sosial yang dikelola Pocari. Pihaknya dituntut cepat dan responsif dalam mereduksi umpan balik negatif. Selain itu, harus bisa memberikan solusi dan jawaban tepat atas keluhan pelanggan.

Aulia Dhetira/Eva M. Rahayu

The post Cut Nisa Amalia appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Cindy Leo, Cinta dan Passion bagi “Sang Baby” Nozomi

$
0
0
Cindy Leo

Cindy dan Nozomi. Dua sosok yang berbeda tetapi saling melekat. Cindy dan Nozomi adalah dua kekuatan yang bersumber dari cinta dan passion. Cindy, nama yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti bulan, adalah sosok energik bertubuh mungil yang tidak suka basa basi. To the point tetapi ramah dan hangat. Sementara Nozomi, yang berarti harapan dalam bahasa Jepang, adalah sosok yang dipersepsikan memiliki ketangguhan dan ketangkasan.

Cindy Leo

Cindy Leo, Direktur PT Nozomi Otomotif Indonesia

Di bisnis, keduanya menggeliat. Dengan sentuhan Cindy, Nozomi yang boleh dibilang pemain baru di industri motor roda tiga langsung melejit dan menyalip pemain lain yang lebih dulu meramaikan pasar. Ya, Nozomi adalah motor roda tiga besutan PT Nozomi Otomotif Indonesia. Cindy memegang kendali sebagai Direktur Nozomi. Ia langsung melapor kepada Presiden Direktur Nozomi, Leo Zahar. Cindy, sulung dari dua bersaudara, adalah penerus imperium bisnis yang dibangun Leo.

Kelahiran Medan, 18 Februari 1988, ini bergabung dengan Nozomi pada 2012 saat perusahaan ini mau mengepakkan sayap dengan ekspansi membuka pabrik baru di Jalan Raya Purwakarta-Subang, Kampung Cijoged, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat. “Saya mulai terlibat saat pabrik Nozomi di Subang baru dibangun, dari pabrik yang masih dalam bentuk fondasi dan tidak ada lay out-nya sampai pembuatan jig. Jadi, keterikatan saya sangat tinggi. Nozomi seperti baby saya,” katanya sembari tergelak.

Memang, Cindy tak hanya terlibat dalam pembangunan fisik pabrik. Ia juga harus membangun divisi komunikasi pemasaran, layanan pelanggan, sampai proses sertifikasi ISO 9001:2008 untuk Quality Management System. Saat baru kembali ke Indonesia, ia diminta sang ayah untuk bergabung dengan Nozomi dan langsung ditunjuk menjadi Pemimpin Proyek ISO. Jabatan ini menuntut Cindy mengetahui semua sistem dan prosedur di perusahaan. Tugasnya juga membuat alur proses semua departemen sampai dengan level instruksi kerjanya. “Saya hanya diberi waktu satu tahun untuk mempelajari semuanya sampai dengan membentuk tim ISO sendiri. Kami tidak menggunakan konsultan untuk mendapatkan ISO, murni kerja sama antardepartemen,” ungkap dara penikmat travel dan kuliner ini.

Menurutnya, banyak perusahaan yang menggunakan ISO untuk marketing tool-nya. Namun, di Nozomi ia menekankan bahwa ISO yang dikejar bukan sekadar untuk kelihatan keren mempunyai logo ISO yang dipampangkan di brosur. “Jika kita tidak perlu kalang kabut saat auditor mau datang, itu artinya sistem dan man power kita sudah benar-benar ISO. ISO juga memicu kita untuk selalu menjaga kerapian dokumen dan mutu produk, serta mengedepankan kepentingan konsumen,” katanya. Jajaran manajemen Nozomi, imbuhnya, memang sangat concern terhadap sistem, prosedur dan manajemen mutu. “Dengan adanya ISO, kami juga tidak perlu worry jika SDM keluar-masuk karena sistemlah yang berjalan.”

Ia mengaku bersyukur mendapat kepercayaan tersebut karena membuatnya bisa langsung terjun secara operasional. “Saya belajar sangat banyak,” ujarnya. Selain mengemban tanggung jawab sebagai Quality Management Representative untuk sertifikat ISO, Cindy juga berjibaku untuk pembukaan jaringan dealer, bengkel rekanan, kerja sama dengan pembiayaan, pembentukan sistem penjualan dan pabrik, pemasaran, sampai perancangan strategi jangka pendek dan jangka panjang Nozomi. Departemen yang berada di bawah komandonya antara lain penjualan & pemasaran, pabrik, jaminan kualitas (audit, kontrol mutu), tim inti (manajer tiap-tiap departemen), pembelian, kepuasan pelanggan (pascajual), dan SDM (HR).

Tak hanya mengantarkan Nozomi meraih sertifikasi ISO 9001:2008 untuk Quality Management System pada Juli 2013, Cindy pun menggebrak dengan berbagai terobosan. Sebut saja, mengadakan ekspansi painting line; memakai local sourcing; melakukan standardisasi interior & eksterior; melakukan branding Nozomi di dealer-dealer; menjaga mutu pascajual Nozomi dengan mewajibkan dealer membeli paket suku cadang Nozomi; menerapkan sistem KPI untuk semua departemen, evaluasi kinerja setiap bulan, sistem evaluasi kinerja dealer setiap kuartal, sistem report harian area manager ke core team pusat; serta ekspansi sub assembling di Kalimantan dan Sumatera.

Hasilnya, Nozomi mampu menyalip pemain lain yang lebih dulu meramaikan pasar motor roda tiga. “Di daerah-daerah tertentu, Nozomi bisa dibilang mendominasi. Namun, secara overall, saya bisa dengan confident bilang bahwa kami di urutan kedua atau ketiga,” kata Cindy yang menargetkan dalam dua tahun ke depan menjadi pemimpin pasar untuk kategori motor roda tiga. Kuncinya, positioning motor roda tiga premium dan inovasi produk. Dengan delapan varian, menurut dia, Nozomi memiliki keunggulan, antara lain kargo ekstraluas, tebal pelat dasar bordes 2,5 mm, kapasitas tangki 14 liter, stabilizer, dan sistem antikarat. Terpenting lagi, Nozomi memiliki varian modifikasi dan customized sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.

Dengan berbagai keunggulan itu, Nozomi yang sudah terdaftar di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah banyak dipakai kalangan ritel, korporasi dan pemerintah, seperti motor bak sampah, motor damkar dab motor ambulans. “Ini semua karena teamwork yang bagus dan kekompakan untuk mencapai target,” ucapnya. Adapun untuk pascajual, Nozomi menghadirkan layanan Home Service. Untuk mencapai target pemimpin pasar, Cindy menggeber aktivitas below the line seperti Gebrak Pasar, Kanvasing dan pameran UMKM. Juga, memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter, serta kampanye above the line di berbagai media. “Juga, memperbanyak dealer sehingga lebih mudah untuk edukasi,” katanya.

Diakui Cindy, keluarga besarnya adalah pelaku bisnis pabrikan yang sudah malang-melintang lebih dari tiga dekade. “Setiap kali menjalankan bisnis, kami selalu melihat jangka panjang. Karena itu, kami investasi pabrik, infrastruktur, IT system pun tidak tanggung-tanggung. Prinsip kami, jika kami melakukan sesuatu, tidak akan tanggung dan berjangka pendek. Jika tidak, hanya menghabiskan tenaga dan waktu kami,” tuturnya.

Sebelum bergabung dengan Nozomi, Cindy sempat berkarier di Coca-Cola Amatil (Australia) dan Baxter (Australia). Balik ke Indonesia, ia sempat berkarier di Sanyo, Ernst & Young, serta Columbia Cash & Credit. Bergabung dengan Nozomi, diakuinya, tanpa paksaan. “Saya sudah terbiasa dengan industri pabrikan. Saya juga lebih suka turun ke lapangan daripada di kantor,” ungkapnya. Latar belakang pendidikannya yang Bachelor of Engineering in Mechanical & Manufacturing Engineering dari University of New South Wales, Australia, dengan predikat Honours, ditambah Master of Science in Finance dari Simon Graduate School of Business University of Rochester, AS, membuat dirinya bisa mengaplikasikan ilmunya. “Dengan background pendidikan teknik dan keuangan, pola pikir saya lumayan sistematis. Jadi, saya juga suka membuat sistem dan prosedur. Tentunya, untuk eksekusi perlu ketegasan dan konsistensi,” katanya.

Tak hanya bekal pendidikan, Cindy pun menempa dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan untuk mengasah jiwa kepemimpinannya. Ia pernah menjadi State President of Indonesian Student Association, NSW, Australia; Board Member of Finance Association, University of Rochester, NY, USA, dan Leader Red Cross (Palang Merah Australia). Merasa dipersiapkan menjadi putra mahkota?

Bagi Cindy, next generation di bisnis keluarga umumnya memang dipersiapkan untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Dan, Cindy mengaku tidak ingin mengecewakan ekspektasi orang tuanya. Terutama, karena sudah diberi kesempatan untuk menimba pendidikan di luar negeri serta diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang besar saat usianya masih muda. “Mereka selalu berkata, ‘Jika kamu tidak bisa memenuhi ekspektasi kami, kami tidak akan membiarkan kamu untuk menjadi putra mahkota karena akhirnya akan merusak bisnis yang telah kami bangun. ‘ Saya yakin orang tua juga akan terus membimbing saya agar bisa belajar lebih cepat,” katanya.

Leo Zahar memang menggembleng kedua anaknya sejak dini. Diakui Cindy, sejak usia 13 tahun ia sudah sering ikut sang ayah ke kantor dan meeting. Bahkan, ia pun ikut rapat kerja nasional berhari-hari sampai menjelang dini hari serta ikut inspeksi mendadak ke ruang pajang. Keluarga besar Leo adalah pemilik jaringan Columbia Cash & Credit serta Sanken. “Walaupun saat itu tidak mengerti apa-apa, saya tidak boleh mengeluh. Saya selalu ingat pesan orang tua saya untuk jangan manja. Orang mau sukses pasti ada yang harus dilakukan ekstra dibanding orang lain,” paparnya.

Bagi Cindy, kedua orang tuanya adalah role model-nya. “Mereka workaholic, pergi pagi pulang tengah malam. Ini contoh buat saya. Kalau mau sukses, pasti harus work hard, work smart,” katanya. Cindy pun mengaku kerap bekerja dari pagi sampai malam. “Jujur, saya lebih suka kerja malam setelah semua orang pulang. Untuk urusan strategi, analisis, saya biasa menggunakan waktu sore hari sampai malam,” ucapnya. Pagi hari dimanfaatkan untuk berdiskusi, membangun jejaring, dan kebijakan pintu terbuka. “Orang bisa anytime temui saya saat jam kerja.”

Di sela-sela kesibukannya di Nozomi, Cindy masih meluangkan waktu membangun bisnis sendiri. Ya, bersama sang adik, Horlix Leo, mereka mengibarkan Cold Press Indonesia yang fokus menggarap minuman jus cold pressed sejak setahun lalu. “Saya mendirikan Cold Press karena passion saya mengenai pentingnya menjalankan hidup sehat yang seimbang,” ungkap Cindy yang memiliki motto Work Hard, Play Hard.(*)

Henni T. Soelaeman

The post Cindy Leo, Cinta dan Passion bagi “Sang Baby” Nozomi appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Furnitur Rotan Premium Besutan Alvin

$
0
0
Alvin Tjitrowirjo

Di tangan Alvin Tjitrowirjo, rotan menjadi produk furnitur yang elegan dan premium. Maklum, pria berusia 32 tahun ini memiliki keahlian dalam mendesain furnitur sehingga produknya yang bermerek Alvin T terkesan mewah dan berbeda dengan furnitur rotan pada umumnya. Apalagi, furnitur rotannya tidak hanya dijual di dalam negeri, melainkan juga dipasarkan ke negara-negara di Amerika, Eropa dan Australia; sehingga sering dianggap produk dari luar negeri.

Alvin TjitrowirjoBagi alumni Jurusan Desain Furnitur, Royal Melbourne Institute of Technology University, Australia tahun 2004 ini, potensi Indonesia sebagai negara penghasil rotan yang besar belum dimaksimalkan. Juga, meski sudah lama dipakai Indonesia dari ratusan tahun lalu seperti untuk keranjang dan kursi, rotan tetap kurang dihargai.

Menurut finalis International Young Creative Entrepreneur dari British Council Indonesia ini, banjir material rotan tidak diikuti dengan munculnya pengrajin-pengrajin inovatif. “Kebanyakan orang Indonesia puas cuma jadi tukang jahit,” Alvin menyesalkan. “Dan, selamanya akan menjadi tukang bikin saja yang terus bergantung pada orang-orang luar negeri,” lanjutnya, prihatin.

Karena keprihatinannya itulah, Alvin terdorong serius mengibarkan bendera Alvin T. Setelah meraih gelar Master Desain Produk dari IED European Design Labs Madrid, Spanyol, pada 2009, ia terus memproduksi karya furniturnya. Bahkan, beberapa karyanya sempat dipamerkan di Harrods, London, pusat perbelanjaan paling prestisius di Inggris.

Agar bisnisnya maju, Alvin memegang beberapa prinsip. Pertama, tidak boleh menyontek desain orang lain. Di Indonesia urusan sontek-menyontek merupakan hal yang lumrah, tetapi ia tidak mau melakukan hal tersebut. Kedua, jika menggunakan high quality material, harus benar-benar high quality. Tidak boleh menipu jika bicara soal kualitas.

Ketiga, otentik dari segi merek. Pasalnya, kalau melihat merek-merek furnitur modern dan kontemporer kebanyakan mereknya kebarat-baratan atau tidak mencerminkan etnik Indonesia. “Jadi, kami mau create value juga di otentisitas ini. Tiga faktor utama inilah yang ingin kami tunjukkan,” ucapnya.

Sekarang target utama pasar yang dibidik Alvin adalah pasar lokal. Namun, ia juga melayani pemesaan dari pelanggannya dari Amerika, Eropa dan Australia. Hingga saat ini sudah ada 60- an desain furnitur yang dibuatnya atau dalam setahun ia bisa menghasilkan 5-10 desain. Saat ini pun ia sudah memiliki ruang pajang di Jalan Suryo 11A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Di sini tempat orang bisa mencoba produk kami. Kalau mau coba, mau lihat, mau pegang, bisa datang ke sini,” ujar Alvin setengah berpromosi.

Saat ditanya soal omset bisnisnya, Alvin mengatakan bahwa bisnisnya tumbuh cukup sehat. “Perkembangannya cukup pesat dan dari tahun ke tahun berkembang 50%-60%,” ujarnya. Sebenarnya bisnis ini cukup sehat dan sangat menantang, dalam arti pesaingnya belum banyak.

Alvin melihat tantangan dalam bisnis ini adalah pasarnya masih terbatas. Ia mencontohkan Jakarta, yang didiami sekitar 18 juta orang, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mengerti desain; hanya sekitar 100 orang yang membeli produknya. Itu sebabnya, saat ini ia tengah mencari cara bagaimana melakukan ekpansi bisnis lebih besar lagi ke luar negeri. Ia pun rajin mengikuti berbagai pameran di luar negeri seperti di Singapura, Thailand, Italia, Jerman, Prancis, dan tahun depan rencananya di Amerika Serikat. (*)

Dede Suryadi dan Sri Niken Handayani

Riset: Gustiyanita Pratiwi

The post Furnitur Rotan Premium Besutan Alvin appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Investor Sambut Positif Paket Kebijakan Ekonomi X

$
0
0
Bursa Efek Indonesia

Analis Ekonomi dari First Asia Capital David Sutyanto mengatakan pada perdagangan saham akhir pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG diperkirakan bergerak bervariasi, dibayangi dengan aksi ambil untung.

“Penguatan lanjutan akan dibayangi aksi ambil untung menyusul meningkatnya resiko pasar saham global. IHSG diperkirakan akan bergerak di 4750 hingga 4810 berpeluang menguat terbatas,” kata David Sutyanto dalam siaran tertulisnya, Jumat 12 Februari 2016.

Bursa Efek Indonesia

Bursa Efek Indonesia

Di tengah meningkatnya resiko pasar saham global dan kawasan Asia, IHSG berhasil menguat pada perdagangan kemarin. David mengatakan penguatan IHSG ditopang arus dana asing yang masuk hingga Rp 878,35 miliar.  IHSG berhasil tutup menguat 43,377 poin (0,917 persen) di 4775,860.

Masuknya kembali dana asing ke pasar aset berisiko Indonesia terutama dipicu optimisme pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan redahnya tekanan inflasi.

Selain faktor makro ekonomi yang kondusif tahun ini, investor asing juga merespon positif kebijakan Paket Ekonomi X yang dirilis kemarin. Paket kebijakan itu merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang intinya membuka lebih besar kepemilikan asing di sejumlah sektor usaha di Indonesia.

Optimisme ini membuat rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah atas dolar AS kemarin menguat 1,2 persen di Rp 13369. Penguatan rupiah atas dolar AS berdampak positif terhadap pergerakan harga saham sektoral yang sensitif interest-rate seperti perbankan, infrastruktur dan properti.

Sementara bursa global tadi malam kembali didominasi tekanan jual. Indeks Eurostoxx di kawasan Euro anjlok 3,9 persen di 2680,35. Di Wall Street indeks DJIA dan S&P masing-masing koreksi 1,6 persen dan 1,2 persen tutup di 15660,18 dan 1829,08.

Kekhawatiran pelambatan ekonomi global dan harga minyak yang terus tertekan menjadi faktor utama aksi jual di pasar saham global. Harga minyak mentah tadi malam di AS sempat anjlok ke US$ 26,13 per barel sebelum rebound tutup di US$ 27,16 per barel menyusul spekulasi pasar OPEC akan menyepakati pemotongan produksinya.

Tempo.co

The post Investor Sambut Positif Paket Kebijakan Ekonomi X appeared first on Indonesia Youngster Inc..

3 Isu Penting Menjadikan Karyawan sebagai Agen Transformasi

$
0
0
Husni Fatahillah Siregar M.M.C., Corporate Marketing Manager PPM Manajemen

Sebuah organisasi pasti diharapkan selalu tumbuh dan berkembang. Dalam proses tumbuh dan berkembang itu tidak jarang harus dilakukan perubahan atau transformasi dalam organisasi. Ketika akan melakukan transformasi, pucuk pimpinan organisasi acapkali merasa khawatir bahwa gagasan untuk bertransformasi akan ditolak oleh karyawan, terutama ketika karyawan sudah merasa bahwa sebenarnya perusahaan ‘baik-baik saja’ dan tidak perlu ada perubahan apapun, resistensi karyawan akhirnya tak terelakkan.

Sementara itu, situasi dan kondisi yang berlaku mengharuskan dilakukan transformasi dalam organisasi baik secara strategi, proses kerja bahkan hingga perubahan struktur organisasi maupun budaya kerja. Lantas, bagaimana agar transformasi yang ingin dilakukan pimpinan bisa diterima oleh segenap karyawan dan pada akhirnya mereka mau menjadi bagian dalam proses transformasi itu.

Husni Fatahillah Siregar M.M.C., Corporate Marketing Manager PPM Manajemen

Husni Fatahillah Siregar M.M.C., Corporate Marketing Manager PPM Manajemen

Armenakis, Harris dan Mossholder dalam jurnal yang berjudul “Creating Readiness for Organizational Change” menyatakan bahwa readiness atau kesiapan menjadi kunci bagi organisasi untuk bertransformasi. Apa yang dimaksud dengan kesiapan? Yang dimaksud kesiapan di sini adalah keyakinan, sikap dan harapan karyawan akan sejauh mana pucuk pimpinan bisa menjelaskan mengapa harus dilakukan perubahan. Dan yang paling penting adalah bagaimana pimpinan organisasi meyakinkan karyawan bahwa perubahan yang akan dilakukan bakal memberi dampak psoitif bagi arah organisasi di masa mendatang.

Berikut ini tiga poin – dalam konteks komunikasi organisasi – yang bisa menjadi acuan bagi pucuk pimpinan organisasi dalam membangun kesiapan karyawan untuk bertransformasi:

Isi Pesan

Yang dimaksud isi pesan disini adalah bagaimana pucuk pimpinan organisasi mengkomunikasikan yang menjadi alasan untuk melakukan transformasi, serta arah kebijakan di masa yang akan datang setelah transformasi dilakukan. Komunikasi ini tidak bisa hanya dilakukan satu atau dua kali saja, namun perlu dilakukan secara intens dan sinambung beberapa waktu sebelum proses transformasi itu benar-benar dilakukan.

Dengan komunikasi yang intens dan sinambung, maka bisa didekteksi lebih dini potensi resistensi karyawan, pimpinan organisasi pun bisa segera mencari solusi guna menghadapinya. Isi pesan harus secara gamblang menjabarkan alasan perlu dilakukan transformasi dengan menampilkan perbedaan yang terjadi dalam kondisi organisasi sebelumnya dan yang berjalan saat ini, misalnya meningkatnya persaingan dengan kompetitor, perubahan regulasi, kondisi perekonomian dalam kaitannya dengan kondisi organisasi, dan kondisi-kondisi lain yang harus dikomunikasikan kepada karyawan. Bagaimana isi pesan ini dikemas, tentunya harus disesuaikan dengan budaya yang sudah berkembang dalam organisasi.

Komunikasi Persuasif

Armenakis, Harris dan Mossholder juga mengatakan bahwa komunikasi persuasif merupakan metode yang tepat dalam proses transformasi. Komunikasi persuasif dapat menggambarkan komitmen pimpinan organisasi untuk melibatkan karyawan dalam proses transformasi organisasi. Komunikasi persuasif ini bisa dilakukan melalui oral communication (komunikasi langsung antara pimpinan organisasi dan karyawan) dan written communication (komunikasi yang disampaikan melalui newsletter, annual report, ataupun melalui memo).

Partisipasi Aktif Karyawan

Dalam proses transformasi organisasi, karyawan bisa dilibatkan secara langsung sebagai agent of change. Penunjukan karyawan sebagai agent of change bisa dijadikan peluang oleh pimpinan organisasi untuk mendapatkan kepercayaan karyawannya. Karyawan yang ditunjuk profilnya sedapat mungkin bisa merepresentasikan kepentingan organisasi namun di sisi lain juga dianggap tepat sebagai perwakilan karyawan. Tentunya karyawan yang ditunjuk sudah mendapatkan pemahaman yang menyeluruh terkait rencana transformasi organisasi, sehingga informasi yang disampaikan selaras dengan pimpinan organisasi.

Ketiga poin di atas acapkali tidak diperhatikan secara detil. Pimpinan organisasi lebih berfokus pada strategi dan pelaksanaan transformasi itu sendiri, namun abai dalam mengkomunikasikan rencana transformasi organisasi di internal untuk memastikan kesiapan karyawan sebagai bagian dari transformasi itu sendiri. Karena sebaik apapun strategi yang dibuat untuk transformasi organisasi, namun jika tidak dikomunikasikan maka yang akan muncul adalah sikap resistensi dari internal organisasi.

Nah, ketika organisasi Anda berencana untuk melakukan transformasi, pastikan Anda juga sudah memiliki perencanaan untuk mengkomunikasikannya.

Oleh : Husni Fatahillah Siregar M.M.C. – Corporate Marketing Manager PPM Manajemen

 

The post 3 Isu Penting Menjadikan Karyawan sebagai Agen Transformasi appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Pergulatan Dendy Reynando di Bisnis Kreatif

$
0
0
Mahakarya Inc.

Meski berkuliah di Program D-3 Elektronika Instrumentasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dendy Reynando tak gentar berbisnis di dunia kreatif. Malah, pilihan bisnisnya sukses mengantarkannya menjadi pengusaha manajemen artis, publishing dan rumah produksi di bawah bendera Mahakarya Inc. dengan omset miliaran rupiah per tahun.

Mahakarya Inc.Pertautan pria 31 tahun itu dengan dunia bisnis dimulai saat dirinya berbisnis clothing di semester akhir kuliahnya. Dari situ, dia lantas menggandeng salah satu band anyar di Yogya, Seventeen. “Kebetulan waktu itu gitarisnya pernah beli kaus kami. Dari situ, saya diajak bicara secara intens tentang manajemen band,” tutur Dendy kepada SWA di kantornya, Jalan Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Dari pembicaraan itu, Dendy justru yang diajak bergabung ke manajemen band Seventeen. Gayung bersambut. Tahun 2005, Dendy mengangguk setuju. Demi totalitas, Dendy melepas bisnis clothing-nya. Band Seventeen yang berdiri pada 1999 sebenarnya telah merilis album pertama, Bintang Terpilih, di bawah label Universal Music Indonesia. Namun, kemudian Universal global menutup label lokalnya di Indonesia, sehingga otomatis hubungannya dengan Seventeen terputus. “Nah, ketika Universal melepas band ini, saya diminta membantu membuat business plan sebagai bahan untuk mencari investor. Mereka sempat kembali ke Yogya karena kejadian gempa, tetapi saya tetap di Jakarta hingga mendapat investor baru,” katanya.

Bukan tanpa tantangan dia menapaki jalan menjadi manajer artis. Bahkan, orang tuanya sempat meragukan pilihan kariernya. “Bagi orang kampung seperti kami, kerja seperti saya tidak keren, karena semacam pengelola organ tunggal yang dipanggil dari hajatan satu ke hajatan lain. Maklum, kami belum akrab dengan ini,” Dandy mengenang masa lalunya sambil tersenyum.

Kondisi mulai membaik kala band binaannya dengan formasi baru mengeluarkan album anyar, Lelaki Hebat, pada 2008 di bawah label baru MI Tune Music Production. Perusahaan ini milik seorang konsultan pajak yang hobi musik dan memercayakan pengelolaan labelnya kepada Dendy.

Formasi dan label yang baru membawa konsekuensi tak ringan: Seventeen dianggap layaknya pendatang baru. Alhasil, dia harus berjibaku meyakinkan 600 stasiun radio di Indonesia untuk memutar lagunya. “Kami kirim satu per satu CD fisik ke radio-radio. Saya berjuang ke seluruh radio di Indonesia, ada 600 radio, saya telepon satu per satu supaya bisa masuk di playlist,” ujarnya. Upayanya selama 2-3 bulan ini berbuah manis. Masyarakat mulai merespons positif band Seventeen. “Bulan ketiga responsnya naik,” katanya. Band Seventeen pun mulai diminta manggung di berbagai stasiun televisi, juga di berbagai daerah.

Dendy yang meneruskan kuliahnya di S-1 Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Jakarta dan MBA IPMI pun kian mantap menggeluti pilihan kariernya. Bahkan, pada 2009 dia memilih berdiri sendiri. “Saya mulai berpikir membuat bisnis sendiri di manajemen artis, record label, pokoknya entertainment business. Maka, saya set up Mahakarya Inc. pada 2009,” paparnya.

Dengan dana seadanya, bahkan kantor yang menumpang di markas band Seventeen, dia mengawali Mahakarya Inc. Dari sana, jalan bisnisnya ternyata terus terbentang lebar. Dendy pun menularkan semangat bisnisnya ke timnya. Salah satunya ke para personel Seventeen yang didorongnya turut berbisnis dengan memproduseri sendiri band-band indie.

Belakangan, bisnis rumah produksi juga dirambah Dendy dengan titel Sarugo Visual Motion. Awalnya, Mahakarya membuatkan video klip untuk band Seventeen pada 2010, selanjutnya untuk band Lila, lalu band-band lain. Bahkan, Nestle pun memercayakan salah satu proyeknya ke Sarugo. Kini, total sudah puluhan video klip yang diproduksi Sarugo. “Ke depan, Sarugo akan saya kembangkan ke program teve dan film. Program teve sedang bicara dengan dua stasiun teve, sedangkan film ada satu skrip yang sedang kami ulas,” kata Dendy, antusias.

Bisnis manajemen artisnya kini menaungi delapan artis dan band, di antaranya Seventeen, Captain Jack, Gilang Dirga, Komo Ricky dan Ilvie Rahmi.

Pengembangan bisnis Mahakarya mengikuti alur kemajuan dunia digital, antara lain kelahiran Departemen Pengembangan Bisnis & Publishing. Bidang itu digarapnya karena para artisnya butuh penanganan di ranah media dan distribusi digital seperti ring back tone, iTune, YouTube, Facebook, Twitter, serta menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan telekomunikasi. “Misal promotion services, kami pernah berhasil memegang media placement beberapa artis,” katanya.

Mahakarya juga pernah membantu media placement buat BPJS Kesehatan. “Karena Mahakarya dekat dengan radio, teve lokal dan media lain, digunakanlah layanan ini untuk sosialisasi tentang BPJS Kesehatan,” ungkapnya.

Saat ini Mahakarya diawaki 15 karyawan tetap dan belasan pekerja paruh waktu. Hebatnya lagi, dua karyawannya kini sedang disekolahkan S-2 di Universitas Bina Nusantara dan Universitas Trisakti. “Saya mau karyawan saya terus belajar. Seperti saya, yang awalnya tidak tahu apa-apa tetapi mau terus belajar,” ujarnya. Bahkan, saat ini dia juga mempekerjakan tiga manajemen artis yang sesungguhnya berbekal nol pengalaman.

Omset Mahakarya tahun ini meningkat tiga kali lipat dari tahun lalu. “Saya tidak bisa sebut angka pasti, setiap tahun gross income naik tiga kali,” ujar Dendy yang menargetkan pencapaian tahun ini Rp 15 miliar.

Dendy bersyukur, berkat usahanya, dia sudah membawa kedua orang tuanya pergi umroh ke Tanah Suci, bahkan mendaftarkan haji buat mereka juga. Pengendara Mitsubishi Pajero Sport ini pun semakin yakin menggeluti bisnisnya. “Saya yakin potensinya sangat besar. Apalagi, industri kreatif disadari pemerintah bisa mendukung banyak hal. Bisnis digital dan media sosial juga makin berkembang. Untuk digital music kami sebelumnya titip distribusi, tetapi mulai tahun ini kami sudah langsung deal dengan operator selulernya, ada 100 lebih konten yang kami distribusikan,” ujar Dendy.

Saat ini Dendy juga sibuk dengan kegiatan sosial. Melalui Mahakarya Foundation yang didirikan pada 2012, dia menyalurkan zakat karyawan dan artis ataupun sumbangan lainnya untuk anak-anak tidak mampu yang berprestasi. Saat ini MF memiliki 20 anak asuh yang tersebar di seluruh Indonesia. Anak asuh pertama yang dibantu biayanya saat ini bahkan ada yang sudah selesai kuliah dan bekerja di Pertamina.

Untuk bisnisnya, Dendy berencana go regional dalam satu dekade ke depan. “Mahakarya punya mimpi bisa merajai pasar Asia untuk 10-15 tahun ke depan dan bisa berkembang seperti Sony, Universal, Warner, SM Ent dan perusahaan multinasional lainnya yang bergerak di industri kreatif,” cetus pria yang berambisi kuliah lagi mengambil gelar MBA di Harvard Business School ini.(*)

Herning Banirestu dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: M. Khoirul Umam

The post Pergulatan Dendy Reynando di Bisnis Kreatif appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Melejit di Baju Menyusui

$
0
0
Bintan Sholihat

Sebuah upaya yang awalnya bertujuan menyelesaikan problem pribadi, kalau digeluti dan dikembangkan dengan baik, bisa menjadi bisnis yang aduhai. Tengoklah apa yang dialami Bintan Sholihat dan mitra bisnisnya yang dikenalnya sejak kuliah di Institut Teknologi Bandung, Dwi Yulia Nurbani. Sebagai ibu muda, Bintan dan Dwi merasakan betul betapa repotnya menyusui di tempat umum. Terkadang si bayi telanjur menangis minta air susu ibu (ASI), tetapi tentu tak pantas menyusui di muka umum tanpa kain penutup. Karena itulah, dua sekawan ini berinisiatif membuat pakaian yang didesain khusus untuk ibu menyusui agar nyaman memberikan ASI di tempat umum.

Bintan SholihatBintan-Dwi lalu sepakat meluncurkan NyoNya Nursing Wear (NNW). “Awalnya, ide membuat brand baju hamil dan menyusui datang dari kebutuhan pribadi. Pelanggan pertama ya kami sendiri. Tetapi, ternyata banyak ibu lain yang terbantu. Mereka ingin tetap tampil cantik dan stylish saat menyusui,” ungkap Bintan.

Saat mencari konsep dan pemasok bahan, baik Bintan maupun Dwi berpanas-panas ria menyusuri Jalan Otista, Bandung. “Browsing sana-sini untuk desain baju, sambil menahan mual dan pusing yang luar biasa karena sedang hamil muda. Kami hunting bahan,” ujar Bintan mengenang. Setelah konsep digarap dalam tiga bulan, NNW resmi diluncurkan pada Februari 2014.

Produksi NNW dipusatkan di Bandung. Dalam menjalankan bisnis ini, Bintan dan mitranya berbagi modal sama rata, 50:50. “Modal awal kami tidak besar karena kami membelanjakan pos yang esensial saja. Setelah launching, baru kami suntik sedikit demi sedikit, bertahap,” ungkap kelahiran 15 Juli 1987 ini.

Strategi utama untuk menjual NNW adalah kekuatan produk. “Produk kami buat sesempurna mungkin mencakup aspek kenyamanan, estetika dan privasi. Kami berusaha tetap catch up dengan tren fashion terbaru supaya desain baju kami stylish dan fashionable,” kata Bintan. Untuk titik penjualan, mereka mengandalkan kekuatan media online. “Konsep kami memang online dan berjualan melalui website (www.nyonyanursingwear.com) dan Instagram (@nyonya_nursingwear),” ujar Bintan yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan di Pricewaterhouse Coopers Indonesia.

Tak mengherankan, sampai saat ini NNW belum punya toko offline. Namun, NNW juga bekerja sama melalui pola konsinyasi dengan beberapa pemilik toko maternity wear di Bandung dan Jabodetabek. Sebut contoh, di Jakarta dengan Hot Momma di Mal Cinere dan Nenen Shop di Plaza Pondok Indah. Sementara di Bandung dengan Moms To Be. Pola konsinyasi juga dikembangkan dengan pengelola toko online www.babyzania.com dan www.hijup.com.

Sejauh ini tanggapan konsumen terhadap NNW sangat baik. “Awalnya kami hanya memproduksi 300 potong baju per bulan, sekarang sudah 10 kali lipatnya,” ungkap Bintan. Pada 2014, sejak awal peluncuran hingga akhir tahun, omset hampir menembus angka Rp 1 milliar. Sementara di 2015 omset rata-rata Rp 200 juta/bulan.

Tania Putri, ibu muda yang juga seorang presenter, adalah konsumen setia NNW. “Saya awalnya tahu dari hastag di Instagram,” katanya. Dia membeli karena selain modelnya lebih fashionable, kualitasnya juga bagus. Sejauh ini dia sudah membeli enam item NNW.

Berbekal kesuksesan NNW, Bintan dan Dwi sejak Ramadan 2015 berani meluncurkan beberapa merek baru: NyoNya Luxe sebagai sub-brand NNW; lalu NyL yang fokus pada baju hamil dan menyusui formal seperti kebaya dan kaftan; serta MamiBelle dengan konsep dan target pasar yang berbeda dengan NNW. “MamiBelle mengangkat tema nursing wear for all, bertujuan menyediakan baju menyusui berkualitas dengan harga terjangkau,” sebut Bintan, peraih gelar master bidang pembangunaan berkelanjuan dari Macquarie University, Sydney.

Yang menarik, belakangan Bintan mengelola bisnisnya dari Seoul, Korea Selatan, karena harus mengikuti suami yang sedang bertugas di Negeri Ginseng. Kuncinya adalah the right partner. Dwi itu teman dari saat kuliah. Kami berdua memiliki skill yang berbeda namun saling melengkapi. Dwi fokus bidang produksi dan customer relations, sedangkan saya business strategy and marketing. Saya bisa mengerjakan pekerjaan saya secara online dari Seoul dan Dwi fokus mengontrol produksi di Bandung. Tanpa partnership yang tepat, NyoNya tidak mungkin menjadi seperti sekarang, tutur Bintan. (*)

Sudarmadi dan Aulia Dhetira

The post Melejit di Baju Menyusui appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Tadeus Nugraha

$
0
0

Menjadi bagian dari karya anak bangsa merupakan kebanggaan tersendiri bagi Tadeus Nugraha. Itulah sebabnya, dia bergabung dengan Go-Jek sejak medio 2015 sampai sekarang. “Saya merasa cocok dengan Go-Jek karena sama-sama orang Indonesia yang memiliki kultur sama. Go-Jek memperhatikan aspek kebersamaan dan kesejahteraan sosial,” ujar Tadeus yang sebelumnya pernah bekerja di Grab Taxi milik Malaysia, dan perusahaan teknologi informasi asal Belanda.

Tadeus NugrahaSebagai VP Operation Go-Jek, tanggung jawab Tadeus mengurus setiap bagian operasional agar semua pekerjaan berjalan lancar. Tantangan yang banyak terjadi saat ini, banyak pengemudi nakal. Menurutnya, yang nakal ini perlu dididik dan didisiplinkan. Cara mendisiplinkannya bervariasi. Toh, belakangan ini cukup keras dalam menangani pengemudi nakal.

Kami cukup terbuka dengan pengemudi. Kami berikan tindakan paling tegas untuk driver nakal. Kami bertindak sebagai orang tua kalau anak (driver) nakal, kami kasih peringatan baik-baik dan ada denda. Sanksi ini bukan bermaksud untuk menghukum, tapi lebih untuk mendidik dan membina pengemudi agar disiplin,” tutur pehobi bermain musik ini seraya menyebut hingga kini pengemudi Go-Jek seluruh Indonesia sekitar 200 ribu orang.

Diakui Tadeus, terobosan yang dilakukan Go-Jek bukanlah prestasinya pribadi. Sebab, Go-Jek bersifat egaliter dan segala sesuatunya dikerjakan bersama-sama. Hanya sistem saja yang dibenahi akhir-akhir ini supaya lebih transparan. “Kami juga perusahaan Indonesia, sehingga mengampanyekan marilah kita bangga menjadi bangsa Indonesia dengan karya anak bangsa. Itu tidak murni ide saya, tapi itu kami gabungkan untuk membuat keputusan bersama yang terbaik,” kata lulusan double degree dari Jurusan Elektrik & Enjiniring Elektronik Universitas Kristen Petra, Surabaya, dan Jurusan Elektrik, Elektronik & Enjiniring Komunikasi Fontys Hogescholen, Belanda ini.

Pencapaian yang pernah diraih dalam kariernya adalah paling bangga saat tim yang dibawahkan menunjukkan kinerja bagus. Dia mencontohkan keberhasilan tim saat melakukan rekrutmen massal di Gelora Bung Karno dalam 8 hari dengan kesiapan seperti sulapan saja. Dalam waktu singkat, Go-Jek bisa memperoleh banyak pengemudi untuk bergabung. Tim bisa menyiapkan dengan saksama dan dalam waktu singkat. Sekarang pun sudah bisa melakukan pembagian atribut untuk pengemudi dan penumpang.

Dengan keberhasilan yang diukir Go-Jek saat ini, pria kelahiran Surabaya pada Oktober 1984 itu turut bangga lantaran menjadi perusahaan TI yang dilirik. Go-Jek adalah aplikasi dari, oleh dan untuk bangsa Indonesia, serta dipasarkan oleh karyawan Indonesia.

Saat ditanya soal jenjang karier yang ingin dicapai, Tadeus mengatakan, posisinya di Go-Jek sudah cukup tinggi. Keinginannya cuma menciptakan suasana kerja yang nyaman dan enjoy di Go-Jek. Bila hal itu tercapai, targetnya dua tahun lagi, mereka dapat menikmati hasilnya. Jadi, mereka tidak perlu bekerja hingga larut malam, dan Tadeus bisa menjadi leader yang lebih baik, lebih arif, bijaksana, serta bermanfaat bagi semua.

Ke depan, atau dua-tiga tahun mendatang, Tadeus berharap Go-Jek dapat menjadi perusahaan yang lebih inspiratif dan perusahaan yang secara operasional bisa seperti Facebook atau Google. Meskipun ini dilakukan oleh orang Indonesia, Go-Jek bisa harum namanya di mata dunia. Karena Go-Jek sangat unik dan lokal. Jadi, ketika dibaca di majalah internasional misalnya, Go-Jek bisa masuk ke dalamnya, sehingga mampu mengundang investor ke Indonesia dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Nerissa Arviana/Eva M. Rahayu

The post Tadeus Nugraha appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Berempat Besarkan Bank of Blood

$
0
0
Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Sebuah nilai pembeda yang mencuat dalam bisnis menjadi jurus ampuh agar cepat dikenal masyarakat. Begitu pun yang dilakukan oleh empat anak muda lulusan Unversitas Pelita Harapan Jakarta yang mengibarkan bendera Bank of Blood. Melihat namanya jangan disangka bisnis mereka adalah bisnis berbau darah atau terkait dunia kedokteran. Bisnis mereka adalah bisnis minuman susu dengan keunikan pada kemasannya yang berbentuk seperti kantong darah.

Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Jessica Meilya (kiri) & Aldrich Zuriel

Ada 7 varian rasa minuman susu fresh warna-warni yang ditawarkan Bank of Blood. “Sebenarnya dari konsepnya sendiri bisa diisi jus atau teh, tapi kami mengisinya dengan susu, kami membuat susunya ini punya warna yang mirip darah. Pewarnanya sendiri hanya menggunakan essense tanpa tambahan apa pun,” ujar Aldrich Zuriel, pendiri Bank of Blood bersama tiga temannya, yaitu Mega Febriyanniety, Jesslyn Juventia, dan Jessica Meilya. Keempatnya rata-rata berusia 22-23 tahun.

Karena bisnisnya masih tergolong baru sejak Agustus 2015, maka dalam pemasarannya lebih banyak mengikuti dari bazar ke bazar dalam sebuah kegiatan plus dipromosikan melalui media sosial seperti Instagram. “Kalau dari bazar ke bazar kan orang masih penasaran terus, jadi mereka masih mau datang. Konsep Bank of Blood ini kan sebenarnya jatuhnya musiman,” ujarnya memberikan alasan.

Hasil penjualan dari bazar ke bazar pun tergolong memuaskan. Tentu saja angka penjualannya tidak menentu bergantung pada acaranya seperti apa, lokasinya di mana, dan waktunya kapan. “Kalau lagi bagus, kami bisa jual sampai 4 ribu kantong per event. Tapi rata-rata 1.000-an kantong per event, biasanya satu event itu bisa 3-4 hari,” katanya. Sementara omsetnya bisa dihitung. Penjualan 1.000 kantong atau 4 ribu kantong per acara dikali Rp 35 ribu (harga per kantongnya) sehingga omsetnya bisa mencapai Rp 35 juta atau 140 juta per acara. Dan pastinya dengan omset sebesar itu bisnisnya sudah balik modal dalam tempo cepat.

Sejatinya, bisnis empat sekawan ini masih tergolong bisnis rumahan. “Kami produksi rumahan. Dulu produksinya berempat saja. Malamnya bikin susu sampai subuh, paginya jaga bazar, kerja rodi pokoknya. Kalau sekarang sudah ada karyawan, ada pekerja 5-7 orang khusus untuk membuat susu,” katanya sambil menjelaskan kalau produk susunya hanya bisa bertahan satu hari, sedangkan kalau disimpan di kulkas bisa sampai tiga hari.

Untuk membangun bisnis ini, keempatnya patungan modal awal, baik dari kantong sendiri maupun dari orang tuanya. Total modal awal yang terkumpul mencapai Rp 50-70 juta. Modal awal ini digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan, termasuk bahan baku kemasan produknya dari luar negeri dan untuk membayar biaya bazar. Untuk bahan minumannya semua berasal dari lokal.

Agar bisnisnya bisa berkembang, mewaralabakan Bank of Blood menjadi salah satu pilihan. “Sekarang baru ada franchisee di Surabaya dan baru di sana. Kami ajarkan semuanya. Kami berikan bahannya, jadi kami bertindak sebagai pemasok,” kata Aldrich. Pihaknya pun belum ada rencana membuat gerai permanen untuk Bank of Blood, karena masih disibukkan dengan selalu mengikuti berbagai bazar yang ada di Jakarta. Meski demikian, keinginan membangun kafe atau restoran selalu ada. Hanya saja, konsepnya tidak akan terkait dengan Bank of Blood.


Pesaing pun mulai bermunculan. Lucunya, kadang dalam sebuah bazar bertemu dengan pesaing. Syukurnya sampai sekarang masih banyak orang yang mencari yang original atau pertama. Kami tertolong sebagai merek pertama yang membawa konsep ini dan menjadikan konsumen hafal. Jadi meskipun di beberapa acara bertemu dengan pesaing, kami masih dicari oleh banyak orang,” ujarnya bangga.

Yoris Sebastian, pengamat inovasi bisnis melihat bahwa Bank of Blood itu unik, sehingga jadi bahan pembicaraan atau word of mouth. “Sekarang kuncinya ada di produk. Produknya harus benar-benar enak. Kalau sudah enak, terus tingkatkan kualitasnya. Banyak merek yang unik tapi kemudian rontok bukan karena tidak ada prospek masa depan, melainkan karena kualitasnya tidak bagus. Jadi walau sudah kuat di WOM, kualitas harus terus ditingkatkan,” ujarnya memberikan masukan

Kalau Bank of Blood benar-benar ingin berkiprah di bisnis makanan, peluangnya besar sekali ke depan. “Dengan popularitas yang mereka miliki, harusnya mereka bisa mencari investor untuk pengembangan bisnis mereka,” ujarnya. Berbisnis di usia muda pun tidak masalah selama rajin belajar dan jangan pernah berhenti berinovasi.

Dede Suryadi dan Aulia Dhetira

The post Berempat Besarkan Bank of Blood appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia

$
0
0
bornevia
Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Di Indonesia, belum banyak, bahkan bisa dibilang belum ada aplikasi berbasis web yang fokus pada Customer Relationship Management (CRM).

Nama-nama seperti Zendesk.com dan Salesforce.com adalah perusahaan yang sudah menggarap layanan konsumen dengan plafrom web di Amerika.

Melihat pasar yang masih terbuka sangat lebar, di tahun 2013 Benny Tjia dan Tjiu Suryanto mendirikan Bernavia. Sebuah nama yang diambil dari nama tempat kelahiran para pendirinya. Benny yang lahir di Jakarta atau Batavia dan Tjiu lahir di Borneo Kalimantan. Borneo dan Batavia, kira-kira itu asal kata dari Bornevia.

“Kebetulan saya dan Tjiu sama-sama pernah belajar di Amerika Serikat dan pernah punya pengalaman kerja di Amerika juga. Saya bekerja di San Francisco Bay Area untuk Microsoft (Divisi Yammer) dan Tjiu sempat bekerja di perusahaan produksen hardware,” jelas Benny saat dihubungi SWA Online (24/2).

Meski tidak mau menyebut nominal modal pendirian bisnis tersebut, Benny mengaku dalam perintisan tidak mengeluarkan dana pribadi sama sekali. Semua disokong oleh para investor. Pertama oleh seorang Angle Investor yang tidak mau disebut namanya dengan nominal yang juga tidak mau disebutkan. “Pokoknya ratusan juta lah,” jelas Benny.

Dalam perjalannya, setelah diluncurkan tahun 2014, Bornevia mendapat banyak kucuran investasi dari perusahaan modal ventura. Sebut saja dari East Ventures dan Beenos Partners (Netprice) Jepang. Bersama 11 tim yang bergabung di Bornevia, Benny mengincar segmen bisnis modern. Di dalamnya terdapat berbagai macam sektor bisnis, termasuk e-commerce dan semua bisnis berbasis online baik layanan maupun B2B.

“Kami juga banyak aktif di beragam forum daring yang menjawab kebutuhan sekitar kepuasan pelanggan. Dari sana, kami banyak mendapatkan banyak perhatian dari bisnis asing yang tertarik menggunakan produk kami,” jelas Benny yang mengklaim Bornevia sudah digunakan di 78 negara dengan 2,200 lebih active customers/ klien di dunia.

Lulusan University of Michigan Ann Arbor Amerika Serikat itu beralasan menawarkan jasa CRM lewat platform web sangatlah prospektif untuk ekspansi hingga ranah global. Sifatnya yang universal dan dibutuhkan oleh bisnis daring di negara mana saja, sangat membantu perluasan pasar. Bedanya dari setiap negara, media yang dipakai untuk berinteraksi dengan pelangan berbeda-beda. Bisa lewat email, live chat, media sosial dan lainnya. Secara garis besar, semua bisnis yang memiliki website akan membutuhkan Bornevia.

Dengan menggunakan Bornevia, semua history pelanggan yang komplain melalui email, media sosial atau live chat akan tergabung di satu wadah yang mudah diselesaikan. Selain itu, layanan lain yang ditawarkan Bornevia adalah bantuan integrasi, API dan juga support dan on-site training untuk bisnis yang berbasis di jakarta.

Lanjut Benny, di Indonesia sendiri Bornevia sudah menggandeng beberapa startup daring lain seperti bridestory, berrykitchen dan veritrans. Tidak hanya jago di dunia daring, rupanya korporasi besar seperti Kalbe Farma dan Trikomsel (Oke Shop) juga sudah menggunakan aplikasi besutan Benny ini.

Untuk menggunakan aplikasi ini, klien bisa membayar US$ 10 atau sekitar Rp 130 ribu setiap bulan dengan fasilitas full feature. Sedangkan untuk feature live chat hanya ditarif US$ 5 atau Rp 65 ribu per agen setiap bulannya. Agen adalah customer service representative nya. Seperti di call center, memiliki agen-agen yang menjawab call.

“Untuk mengetahui secara lengkap cara kerja Bornevia, kami berikan uji coba gratis selama 17 hari bahkan bisa satu bulan,” jelas Benny yang mengaku omzet yang diterima bisa mencapai ratusan juta sejak tahun 2015.
Ia juga menargetkan Return of Investment (ROI) yang sudah ditanamkan oleh para investor akan dicapai di tahun 2016. Sebuah target yang ambisius dan terencana dengan matang. Strategi mencapai target itu antara lain dengan melakukan program marketing bersama dengan perusahaan B2B lokal.

“Untuk pasar luar negeri, kami sedang melakukan program digital marketing yang berkelanjutan ke negara-negara yang ada klien kami, seperti Israel, Peru, India, Singapore, Inggris dan Amerika Serikat,” jelas Benny optimis target ROI di tahun ini akan tercapai.

Meski demikian, Benny mengaku hambatan terberat dalam bisnis yang ditekuninya adalah minimnya akses ke para praktisi yang berpengalaman dan sukses di bisnis menjual software berbasis web. Mayarotis mereka berdomisili di luar Asia, sehingga Benny dan tim sangat sulit mendapat mentor yang sesuai dengan bidangnya. (EVA)

The post Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Stephanie Yoe Memulai Karier di Usia 19 Tahun

$
0
0
swa3

Di usianya yang ke-24 tahun, Stephanie A. T. Yoe, menduduki beberapa posisi di beberapa perusahaan. Selain menjadi Business Development Manager di Blibli.com, ia juga menjadi Founder di Cutbroker Pte Ltd, sekaligus menjadi Babson Global Ambassador of Indonesia. Sejak SMA, Stephanie rajin menjadi pegawai magang di perusaahan untuk merasakan dan mengetahui kareir apa yang ia inginkan.

swa3

Perjalanan kariernya dimulai dari usia 19 tahun, ketika ia menjadi Co-Founder dan CEO di www.blendsallure.com, sebuah e-commerce yang menjual syal kepada konsumen di pesisir barat dan timur di Amerika Serikat sekaligus kepada konsumen B2B.

Kemudian, ia bergabung dengan perusahaan manajemen database, EMC, di bagian marketing dan keuangan. Setelah lulus dari Babson College jurusan Kewirausahaan spesialisasi di High-Tech dan pemasaran, ia bergabung dengan perusahaan M&A di Boston, MA sebagai analis.

Karena OPT (Optional Practical Traning) saat itu sudah habis dan visa H1B susah didapat karena krisis di Amerika, ia mendapat pengalaman berjualan langsung dari pintu ke pintu untuk menjual Verizon Fios sebelum kembali ke Jakarta.

“Aku ketuk satu persatu pintu di perumahan, tiga puteran sehari, untuk menawarkan Fios atau beralih dari Comcast ke Fios. Capek dan panas sekali, tapi itu merupakan pengalaman yang sangat berharga buat aku karena aku belajar cara dan bagaimana berjualan secara langsung,” ujar perempuan cantik kelahiran 17 Juni 1991 ini.

Setelah OPTnya habis, Stephanie terbang ke Shanghai untuk belajar bahasa Mandarin. Namun, baru beberapa bulan, ia dipanggil oleh Babson College untuk membantu partner Babson College sebagai bagian dari tugas dari Babson Global Ambassador of Indonesia . Salah satu tanggung jawabnya adalah untuk mengenalkan ide baru, strategi inovatif di departmen pemasaran, dan membantu untuk menciptakan suasana yang nyaman dan seru di Podomoro University.

Ia juga bertanggung jawab dalam mengurus komunitas alumni Babson di Indonesia. Sejalan dengan tugasnya sebagai Babson Global Ambassador of Indonesia, Stephanie mendirikan media digital, Jakarta City Life (JCL) yang mengulas seputar gaya hidup, event, dan tempat wisata di Jakarta.

“Sayangnya, saat ini JCL sedang berhenti beroperasi. Selain mengurusi JCL saat itu, saya juga membantu beberapa venture capitalist dari Silicon Valley untuk mengerti dan masuk ke pasar Indonesia sekaligus memberi konsultasi mengenai gambaran perkembangan teknologi di Indonesia. Sebaliknya, saya juga belajar banyak sekali dari mereka. Karena saya sering bertemu dengan para venture capitalist baik di Asia Tenggara maupun Amerika, Peng T. Ong, Founder dan CTO di Match.com dan Partner at Monk’s Hill’s Ventures menjadi mentorku. Beliau mengajarkan aku banyak tentang kehidupan dan mengenai perusahaan rintisan dari sisi venture capitalist dan teknis secara lebih mendalam, ” jelasnya.

Baru-baru ini, ia berinvestasi di Appstrak, sebuah web/platform dan mobile apps development yang dikenal sebagai “start-up friendly” karena harganya, reabilitasnya dan kualitasnya yang terjangkau.

Stephanie pernah mengikuti ajang kecantikan Putri Indonesia di tahun 2015 karena ia ingin menerapkan pengalaman dan pengetahuannya untuk mengembangkan Indonesia. “Saya lihat Miss Universe sebagai kesempatan untuk lebih ‘menjual’ pariwisata Indonesia yang nantinya akan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi kita. Apalagi karena Indonesia sudah menjadi ekonomi terbesar yang ke 7 di dunia dengan 135 juta orang konsumtif, sayang sekali kalau tidak dipakai kesempatannya. Dan ini sebagai saluran saya untuk menjangkau ‘audience’ yang lebih luas agar saya bisa menginspirasi lebih banyak orang dan membuat ‘impact’ yang positif di negara ini. Saya tidak menang, tapi  dianugerahi sebagai Miss Universe Jakarta 2015/ Puteri DKI Jakarta 2015 – Top 10 in the Miss Universe Indonesia Pageant,” jelasnya.

Sebagai Business Development Manager di Blibli.com, Stephanie bertanggung jawab untuk menciptakan lebih banyak lagi perusahaan rintisan yang berpotensi untuk dapat diintergrasikan dengan model dan proses bisnis saat ini. Ia juga bertugas untuk membuat proyek dan kampanye yang menarik dan inovatif.

Tinggal dan bekerja cukup lama di Amerika membuat standar kerja Stephanie sangat tinggi. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesarnya di sini adalah menemukan talent yang profesional, jujur, produktif, konsisten, dan efisien. “Berdasarkan laporan McKinsey’s Unleashing Indonesia, untuk mencapai target GDP (Growth Domestic Product) sebesar 7% per tahun, Indonesia membutuhkan produktivitas tenaga kerja yang 60% lebih cepat dibanding kecepetan produktif sebelumnya di tahun 2000-2010. Masih banyak sekali PR yang harus dikerjakan di Indonesia”. Stephanie membocorkan rahasianya untuk mencapai tujuan, yaitu selalu peka terhadap peluang dan pandai memprioritaskan hal-hal yang ingin dikerjakan.

Untuk melatih kemampuannya, setiap minggu ia menjadi mentor untuk banyak wirausaha. “Saya membantu untuk membentuk konsep, bisnis model, dan juga dari sisi komersialnya. Menjadi mentor melatih kemampuan sekaligus juga memvalidisikan strategi saya sendiri. Jadinya aku parallel belajar dengan mereka,” ujarnya sambil bersemangat.

Dengan segudang aktivitas, Stephanie melepas stres dengan bermain piano, gitar, dan juga bernyanyi. “Saya suka menghabiskan waktu luang sendiri. Biasanya menonton Netflix atau ke bioskop, dan café ‘chilling’ dengan teman teman saja,” dia menuturkan.

Meski tinggal lama di luar negeri, Stephanie masih memegang paspor Indonesia dan berdedikasi untuk membuat perubahan yang positif di Indonesia. “Saya ingin membantu Indonesia berjaya di dunia teknologi sambil menginspirasikan wanita muda untuk lebih berdikari, percaya diri, sukses dan mandiri secara finansial,” dia menegaskan. (EVA)

The post Stephanie Yoe Memulai Karier di Usia 19 Tahun appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce

$
0
0
Joseph Aditya

Terinspirasi nama warung nasi kucing langganannya di Semarang, yaitu Ora Lali, Joseph Aditya mengembangkan situs e-commerce dengan nama Ralali.com (www.ralali.com). Namun, bisnis Ralali yang dikembangkan Aditya (panggilannya), jauh dari bisnis nasi kucing kesukaannya dulu. Ralali adalah online marketplace untuk kalangan korporasi (business-to-business/B2B) yang berfungsi sebagai mediator antara pembeli dan penyedia barang kategori maintenance, repair & operation (MRO). “Selama ini, banyak perusahaan cukup sulit mencari barang kebutuhan mereka, sehingga perlu rekanan. Lalu saya buat Ralali ini yang menggabungkan semua pemasok,” ujar Aditya, pendiri dan CEO Ralali.com.

Joseph AdityaBisnis e-commerce yang ditekuni Aditya, rupanya tak jauh dari pengalaman dia sebelumnya. Selama 8 tahun, Aditya berkarier di sebuah perusahaan lokal di bisnis peralatan uji dan pengukuran untuk industri bernama PT Tridinamika Jaya Instrument. Di perusahaan ini, ia berkarier mulai dari sales representative hingga direktur pengelola.

Merasa sudah mencapai posisi tinggi di perusahaannya dan di sisi lain pengalamannya dirasa sudah cukup, Aditya memutuskan mengembangkan usaha sendiri di bidang e-commerce. Pada 2013 ia mendirikan Ralali.com, dengan bendera resmi PT Raksasa Laju Lintang. Pada masa awalnya, ia hanya dibantu oleh seorang operator, petugas peng-update web, dan seorang tenaga pemasaran. Uniknya, jenis e-commerce yang dipilihnya bukan menjual barang-barang konsumer, melainkan penyediaan barang kebutuhan industrial dan operasional perusahaan (MRO). Misalnya peralatan untuk cleaning service.

Jujur, awalnya ini iseng-iseng saja. Tapi ternyata responsnya sangat bagus,” kata lulusan Jurusan Commerce Management Deakin University, Australia ini. “Data terakhir, jumlah klien kami sudah di atas 20 ribu pelanggan, semuanya perusahaan,” ia menambahkan.

Menurut Aditya, keyakinannya terhadap bisnis yang dikembangkannya mulai muncul ketika ada pesanan pertama dari sebuah perusahaan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Nilai pesanannya sekitar Rp 200 juta. “Setelah ada order dari Ketapang, saya mulai benar-benar yakin bahwa (barang-barang) B2B juga bisa di-e-commerce-kan,” ungkap Aditya seraya tertawa. “Kami tanya mengapa mau menggunakan Ralali.com? Alasannya sangat sederhana: di Ketapang cukup sulit menemukan barang yang mereka cari sehingga adanya B2B e-commerce ini dinilai mereka sangat memudahkan,” ia menambahkan.

Sejak saat itu, bisnis Ralali.com terus berkembang. Tak lama kemudian, persisnya Juni 2014, Ralali mendapat pendanaan dari modal ventura asal Singapura, East Ventures. Pada Juni 2015, Ralali kembali mendapat funding sebesar US$ 2,5 juta dari dua investor ternama Jepang, yakni Beenoz Plaza dan Cyber Agent Ventures.

Saat ini, diklaim Aditya, Ralali.com memasarkan lebih dari 700 subkategori barang, seperti alat kesehatan, perlengkapan laboratorium, alat ukur dan inspeksi, alat pembersih, peralatan keselamatan, peralatan listrik, peralatan otomotif dan lain-lain. Total, lebih dari 50 ribu stock keeping unit dari 500-an merek. Jumlah pengunjung dari kalangan bisnis lebih dari 30 ribu user per bulan.

Jika dilihat dari nilai bisnis, kami sudah tumbuh 10 kali lipat,” ujar Aditya. Adapun jumlah SDM, dari hanya berempat, saat ini sudah berjumlah 150 orang. Nilai rata-rata untuk order berkisar Rp 8-15 juta per order. Bahkan, Ralali.com pernah mengirim crane seharga Rp 1,5 miliar. Untuk pengiriman barang, Ralali bekerja sama dengan beberapa perusahaan jasa logistik.

Menurut Aditya, ada beberapa hal yang membuat Ralali.com mendapat kepercayaan pasar. Antara lain, harga barang yang ditawarkan transparan karena melampirkan harganya. Model pembayarannya pun berbeda dari e-commerce pada umumnya yang tinggal menggunakan kartu kredit atau transfer. Maklumlah, pada transaksi di Ralali, bisa saja yang memesan dan yang akan membayar berbeda. Pasalnya, ini untuk kebutuhan bisnis atau perusahaan. Selain itu, untuk transaksi yang nilainya besar, ada term of payment-nya, misalnya wajib down payment 50% dulu.

Menurut Aditya, untuk urusan promosi pihaknya melakukan kombinasi: online dan offline. Berbagai kampanye dan acara pun digelar, walaupun lebih sebagai sponsor resmi dari suatu acara, seperti manufacturing expo. Hampir semua ekspo di Indonesia yang berhubungan dengan pameran industri, kami ikuti,” ucap Aditya.

Kendati begitu, diakui Aditya, ada beberapa kendala atau tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan B2B e-commerce MRO ini. Antara lain, penyediaan barang melibatkan banyak pihak, sehingga harga terus berubah. Selain itu, ketersediaan barang dan kecepatan pengiriman juga menjadi tantangan bagi Ralali.com, yang terkait dengan masalah infrastruktur.

Aditya menilai bisnis B2B MRO ini sangat cocok untuk wilayah di luar Jakarta yang sulit menemukan barang-barang untuk perusahaan. Hanya saja, infrastruktur di luar Jakarta masih sering menjadi kendala. Misalnya, ada kendala koneksi Internet dan pengiriman. Karenanya, Ralali.com membuka pusat distribusi di Balikpapan. “Model bisnis seperti Ralali ini masih baru. Tetapi kami yakin, ketika kami melakukan sesuatu dengan tujuan benar, maka akan ada jalan,” ujar Aditya. “Ke depan, kami akan luncurkan versi mobile app. Sebab, sekitar 60% visitor kami menggunakan fasilitas mobile,” ia menambahkan.

Kejelian Aditya masuk ke bisnis B2B e-commerce untuk barang-barang MRO diacungi jempol oleh praktisi TI Subhan Novianda. Menurut CEO Basajans Solution ini, Aditya masuk ke bisnis yang belum banyak pemainnya. Padahal, potensi bisnisnya sangat besar. Lembaga riset Frost & Sullivan memperkirakan, pada 2020 B2B e-commerce akan dua kali lebih besar dari B2C e-commerce. Nilai B2B e-commerce mencapai US$ 6,7 triliun, sedangkan B2C e-commerce US$ 3,2 triliun. Sementara itu, Forrester Research memperkirakan tahun ini B2B e-commerce di Amerika Serikat besarnya sudah mencapai US$ 780 miliar, dua kali lipat dari B2C.

Toh, Subhan menyarankan Ralali.com untuk mendefinisikan dulu pasar (market) dan sumber (source)-nya. Apakah ingin menjadi marketplace dengan target pasar Indonesia saja atau pasar global, dan apakah sourcing-nya hanya dari pemasok Indonesia, atau ingin merambah ke pemasok dari luar negeri. “Tapi, sebaiknya Ralali fokus dulu ke pasar Indonesia, dengan pemasok dari Indonesia,” ia menyarankan. “Atau, bikin B2B marketplace untuk pasar luar dengan barang-barang Indonesia yang lebih murah atau tidak mudah didapatkan dari luar Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, Subhan juga mengingatkan bahwa karakter dan kebutuhan B2B tentunya berbeda dari B2C. Dari sisi pembeli, mereka merupakan pembeli korporat, sehingga bisa saja satu akun memiliki tiga contact person. Cara bayarnya, selain bisa dengan kartu kredit atau transfer, juga mesti ada term of payment. Sebab, kebanyakan pelanggan B2B mengharapkan adanya tenggang pembayaran 30-90 hari. Misalnya, Alibaba.com mempunyai fasilitas e-CreditLine, bekerja sama dengan Bank of China.

Menurut Subhan, Ralali.com juga perlu menjalin kerja sama dengan penyedia jasa logistik, tetapi tetap memiliki tim logistik sendiri untuk mengelola dan memonitor semua pengiriman barang. “Ini sangat penting. Bukan hanya masalah customer satisfaction, tetapi juga menyangkut biaya dan sangat menentukan untung dan rugi dari transaksi tersebut,” ujar Subhan mengingatkan. “Jadi, akan lebih baik jika Ralali memperkuat logistiknya,” tambahnya.

 

A. Mohammad B.S. & Nerissa Arviana

The post Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu

$
0
0
Maria Suzanna Roesli

Jumlah penumpang perjalanan udara di Indonesia yang mencapai puluhan juta rupanya menarik minat dua anak muda membesut Hulaa.com, agen perjalanan online untuk memesan tiket pesawat dan hotel. Dengan diferensiasi yang kuat, Maria Suzanna Roesli (34 tahun) dan Budiyono Salim (31 tahun) yakin bisnis mereka yang belum genap dua tahun itu berpeluang untuk bersaing dengan pemimpin pasar.

Maria Suzanna Roesli

Maria Suzanna Roesli, pemilik Hulaa.com, agen perjalanan online

Hulaa semakin digdaya lantaran berhasil menarik Bayu Buana Travel (BBT), agen perjalanan kawakan, sebagai salah satu investornya. Alhasil, tak hanya modal Hulaa yang menebal, jaringan bisnis BBT pun turut memperkuat startup yang dirintis pada pertengahan 2014 itu. Kini, belasan maskapai di Indonesia serta puluhan ribu hotel di seantero Indonesia dan Asia Pasifik sukses digandeng Hulaa.

Kepada SWA di kantornya, DBS Tower Lantai 9, Kuningan, Jakarta Selatan, Maria menuturkan, dia dan rekannya membesut Hulaa di bawah bendera PT Hulaa Travel Indonesia. Perempuan kelahiran Jakarta 1981 itu bukan sosok baru di ranah startup Indonesia. Alumni Jurusan Nutrition Biochemistry UC Davis, Kalifornia, AS, itu sebelumnya menjabat sebagai VP Penjualan Groupon Indonesia selama dua tahun.

Obrolan santai antara Maria dan Budiyono Salim, seorang programmer muda yang tengah mencari bidang bisnis baru, membawa mereka menggeluti bisnis online travel agent (OTA). “Pak Budi dulu bekerja sebagai programmer di Singapura, lalu pulang juga ke Indonesia. Saat kumpul dengan teman-teman, kemudian kami berkenalan. Lama-lama kami membicarakan mengenai visi dan ternyata ada kecocokan sehingga kami membangun Hulaa,” Maria mengenang.

Maria melihat, pasar perjalanan udara di Indonesia sangat besar. “Sekarang saya rasa kebutuhan travel di Indonesia sangat besar, ditambah minimal setahun sekali masyarakat berpergian seperti mudik,” tuturnya. Maria benar. Badan Pusat Statistik merilis data bahwa jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia tahun 2014 mencapai 72,6 juta orang, naik 5,6% dari 2013 yang sebanyak 68,5 juta orang. Terlebih, International Air Transport Association menyebut pada 2034, Indonesia diprediksi menjadi pasar travel penerbangan terbesar ke-6 di dunia dengan 270 juta penumpang diperkirakan terbang ke, dari dan melalui Indonesia.

Maria dan Budi tak gentar menghadapi sejumlah pemain OTA kawakan seperti Traveloka dan Tiket.com. Pasalnya, mereka melihat masih ada peluang besar bagi situs sejenis yang memiliki daya saing yang kuat. Ketika melakukan riset dengan menjajal produk pesaing, mereka menemukan, rata-rata dibutuhkan waktu 32,6 menit untuk melakukan pemesanan. Karena itu, mereka sepakat meluncurkan layanan OTA yang menawarkan kecepatan serta kemudahan dalam melakukan pemesanan tiket pesawat dan hotel. Salah satu caranya, memodifikasi kolom pemesanan tiket sesuai dengan persyaratan khusus tiap-tiap maskapai. Pasalnya, ada sejumlah maskapai seperti Batik Air yang tidak memerlukan pengisian kolom tempat dan tanggal lahir. Ini berbeda dengan Air Asia yang mensyaratkan pengisian kolom tersebut. Selain itu, sistem Hulaa juga diklaim Maria bisa membantu mengisikan nama penumpang karena mampu mempelajari perilaku penggunanya.

Kenyamanan pengguna, imbuh Maria, semakin dimanjakan dengan keberadaan petugas layanan pelanggan 24 jam yang bisa dijangkau melalui telepon, SMS, surat elektronik hingga WhatsApp. Dengan konsep itu, diharapkan pelanggan Hulaa bisa cepat mendapat respons atas kebutuhan perjalanan udara dan penginapannya.

Aspek kenyamanan memang sejak awal menjadi salah satu fokus Hulaa. Bahkan, desain nama dan logo Hulaa pun dirancang bernuansa kasual demi mengingatkan orang pada suasana Hawaii yang ceria. “Kami ingin agar kesannya teringat Hawaii, yang fun, nyaman, santai, berbunga-bunga. Selain itu, kami ingin memberi nama yang langsung mengingatkan orang pada pengalaman dan destinasi travel,” paparnya.

Usai merampungkan konsep produknya, promosi pun digelar di kanal digital. Facebook, Twitter, Instagram dan blog menjadi andalan utama Hulaa untuk mempromosikan layanannya. Berbagai kontes digelar Hulaa demi meningkatkan popularitasnya. Salah satunya, pada Lebaran yang lalu, Hulaa meluncurkan lomba ngeblog bertema pengalaman mudik dengan hadiah paket wisata ke Phuket Thailand beserta akomodasinya. Pada Juni-Agustus lalu, Hulaa juga sempat berpromosi menawarkan diskon vocer hotel di Groupon Indonesia.

Dengan strategi yang matang, respons pengunjung cukup positif. Bahkan, Maria mengklaim, sejak meluncur secara resmi pada Maret 2015, hingga kini transaksinya terus meningkat dengan rata-rata kenaikan 110% per bulan. “Active user sebanyak 20 ribu ngecekin halaman kami dan yang melakukan transaksi 70%-nya sehari,” Maria menjelaskan.

Setelah berjalan beberapa bulan, kini Maria dan tim bisa memetakan profil pengguna Hulaa. “Pelanggan kami kebanyakan business traveller. Mereka lebih time sensitive dibandingkan cost sensitive, terpacu oleh waktu yang maunya cepat. Jadi, lebih ke market yang memang membutuhkan kecepatan dan kenyamanan,” ujarnya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah transaksi, Hulaa pun menambah krunya. Dari awalnya hanya Maria dan Budi yang sepenuhnya menangani seluruh urusan bisnis hingga operasional, kini Hulaa diperkuat oleh 15 karyawan. Mereka terbagi ke dalam divisi pengembangan produk, layanan pelanggan serta keuangan. Selain itu, jaringan maskapai dan hotel mereka juga kian luas. Saat ini, Hulaa bekerja sama dengan 13 maskapai di Indonesia dan 27 ribu hotel di Indonesia dan Asia Pasifik. “Sebenarnya kami sudah ada data untuk hotel di Amerika dan Eropa, namun baru Januari 2015 kami akan buka 10 ribu lagi. Kami juga dibantu oleh Bayu Buana Travel yang memperkenalkan kami ke hotel-hotel dan maskapainya,” ungkap Maria.

Ke depan, Hulaa berencana melengkapi layanannya dengan paket wisata domestik dan pemesanan tiket kereta api. “Nanti turnya akan lebih dimodifikasi buat orang yang sibuk yang hanya punya waktu tiga hari. Kami juga ingin bisa melayani pembelian tiket kereta karena itu juga permintaannya banyak.”

Rina Astuti (25 tahun) yang sudah dua kali menggunakan layanan Hulaa mengaku cukup puas. Karyawati bagian pemasaran di Maspion itu ketika hendak mengubah pesanannya pernah dibantu hingga tuntas oleh petugas layanan pelanggan Hulaa. “Jadi, pernah saya mau reschedule saat saya mau pergi ke Bali, akhirnya saya dibantuin sama CS-nya Hulaa sampai tuntas,” tutur Rina yang menggunakan Hulaa saat pergi ke Bali dan Lombok.

Rina memberi saran agar Hulaa memperluas layanannya. “Berhubung saya suka berpergian dengan teman-teman menggunakan bus atau kereta api, jadi kalau bisa, kedua tiket transportasi tersebut juga bisa dibeli di Hulaa agar lebih memudahkan pelanggannya juga,” kata Rina penuh harap.(*)

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Sri Niken Handayani

The post Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Merintis Bisnis Sewa Kasur Beromset Miliaran Rupiah

$
0
0
Clara Almabella Bamanty

Clara Almabella Bamanty adalah salah satu contoh pengusaha muda bermental baja. Bagaimana tidak. Ia sering kali diejek dan ditertawakan karena bergelut dengan bisnis penyewaan kasur di Yogyakarta. Bisnisnya dipandang sebelah mata karena dianggap tidak bisa meraup laba. Clara mengabaikan anggapan tersebut. Ia tancap gas dan mendirikan usaha penyewaan kasur dengan nama sewakasur.com. “Saya melihat peluang bisnis yang besar sekali. Jadi, saya melanjutkan bisnis ini dan terbukti saya bisa membuka cabang di daerah lain,” Clara menceritakan.

Clara Almabella Bamanty

Clara Almabella Bamanty

Jenis kasur yang disewakannya terdiri dari kasur busa dan kasur pegas (spring bed). Tarifnya bervariasi, mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 110 ribu per kasur selama 24 jam. Harga sewa paling murah adalah kasur busa berukuran 90 x 1.200 cm yang dibanderol Rp 20 ribu per hari. “Dalam sehari, kami menyewakan kasur busa kira-kira 300 lembar untuk di Yogya saja. Pelanggan kami yang paling besar adalah hotel,” ia menjelaskan. Berdasarkan perhitungan Clara, estimasi omset sewakasur.com dari penyewaan kasur busa itu sebesar Rp 180 juta setiap bulannya, atau Rp 2,1 miliar per tahun. “Sebagian besar hotel di Yogya sudah bekerja sama dengan kami untuk menyediakan kasur busa, yang mereka gunakan untuk extra bed,” dia menambahkan.

Jasa penyewaan alas tidur sangat membantu pengelola hotel. Sugeng Waluyo, Executive Housekeeper Hotel Indoluxe di Yogya, mengatakan, pelaku bisnis hotel di daerahnya merasa terbantu oleh jasa penyewaan kasur yang disediakan oleh empat vendor. “Dulu, kami susah mencari vendornya. Sekarang kami sudah tidak kesulitan lagi,” kata Sugeng. Dia menceritakan hotelnya menyediakan extra bed dalam jumlah terbatas, sehingga membutuhkan penyedia kasur ekstra apabila ada rombongan yang menginap di Hotel Indoluxe. “Kami memilih Clara karena kualitasnya memenuhi standar hotel, pelayanannya cepat dan selalu siaga 24 jam mengantarkan pemesanan walau kami menyewa kasurnya tidak banyak,” ungkap Sugeng.

Slogan sewakasur.com adalah Membantu Menjamu Tamu. Clara mengklaim pihaknya sebagai perintis penyewaan kasur busa dan spring bed di Kota Gudeg itu. Selain hotel, pelanggannya berasal dari instansi pemerintah dan perorangan. Sepintas, laju bisnisnya patut diacungi jempol. Clara meraihnya tidak instan karena memulainya dari tahun 2007. Waktu itu, dia masih kelas satu SMA. Modalnya berasal dari tabungan pribadi sebesar Rp 200 ribu untuk membeli satu lembar kasur busa.

Dia mengisahkan bahwa ide bisnisnya itu terinspirasi dari hobinya menginap di hotel atau vila. Kebetulan Clara bersama keluarganya sering jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata. Saat menginap, rombongan keluarga Clara ini acap kesulitan mendapatkan kasur ekstra dari pengelola tempat penginapan. “Kami sering kekurangan extra bed karena pihak hotel tidak menyediakan. Dari situlah, saya berpikir untuk berbisnis penyewaan kasur,” tutur wanita kelahiran Yogyakarta, 26 juni 1992 ini.

Lalu, Clara bersama saudara sepupunya menawarkan jasa penyewaan kasur. Mereka acap kali mengantarkan kasur ke konsumennya dengan mengendarai sepeda motor. Promosinya hanya mengandalkan sistem getok tular (word of mouth). Sebelum menembus hotel, Clara menyewakan kasur ke tetangga di sebelah rumahnya di Jl. Godean Km 7 Sidoarum, Sleman, Yogyakarta yang sekaligus menjadi kantor pusat sewakasur.com.

Langkah berikutnya, ia memberanikan diri menawarkan jasanya ke pengelola hotel dan tempat penginapan lainnya. Namun, ia pulang dengan tangan hampa. Clara tidak putus asa. Ia malah semakin gencar mempromosikan sewakasur.com di media sosial, situs Internet (website) dan pamflet. Perlahan tetapi pasti, bisnisnya melejit. “Awalnya banyak yang menolak. Tapi, saya tidak menyerah sampai akhirnya sewakasur.com mulai dikenal luas dan pengelola hotel menghubungi saya untuk bekerja sama menyediakan extra bed,” Clara menegaskan. Ia berterima kasih kepada ayahnya karena memberikan modal tambahan di awal menjalankan bisnisnya. “Setelah mulai berjalan, saya membeli kasur sedikit demi sedikit untuk menambah jumlah kasur,” ia menerangkan.

Sekarang, Clara sudah membuka cabang di Semarang, Bekasi, Jakarta, Bandung, dan Bali. “Investasi setiap gerainya sekitar Rp 75 juta,” ujarnya. Rencananya, Clara ingin mengepakkan sayap bisnisnya dengan membuka cabang di tiga kota lainnya, antara lain Surabaya dan Lombok. CV Penutup adalah perusahaan yang menaungi sewakasur.com. Selain itu, dia mengembangkan unit bisnisnya, seperti menyediakan selimut atau peralatan penginapan lainnya bagi pengelola hotel.

Clara saat ini hanya seorang diri mengelola usahanya, sepupunya sudah mengundurkan diri karena sibuk dengan pekerjaan lainnya. Alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta ini tetap terjun langsung menjalankan manajemen usahanya, seperti membeli dan merawat kasur, serta mendistribusikannya ke konsumen. Ia mempekerjakan 10 pegawai di kantor pusat sewa kasur Yogya. Sementara jumlah karyawan di kantor cabang berkisar 2-4 orang per gerai.

Menurut Clara, tantangan yang dihadapinya adalah menyakinkan konsumen mengenai kualitas kasurnya. Atau, menghadapi risiko bisnis seperti pencurian atau kerusakan. Sugeng, selaku pelanggan sewakasur.com, berharap Clara mempertahankan kualitas dan pelayanan, serta memperluas jaringannya. “Karena kompetitornya semakin banyak, maka kualitas produk ataupun layanannya harus diutamakan,” kata Sugeng.

Vicky Rachman & Rizky C. Septiana

Riset: Muhammad Rizki

The post Merintis Bisnis Sewa Kasur Beromset Miliaran Rupiah appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Fajar Putra Membidik Laba dari Bisnis Acroyoga

$
0
0
Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Kelas olah raga yoga sangat diminati oleh pecinta gaya hidup sehat di kota besar. Kini, turunannya yang disebut dengan acrobatic yoga (acroyoga) sedang digandrungi oleh kaum urban. Penikmatnya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pegawai kantoran hingga selebritas papan atas. Inilah yang menggugah Fajar Putra, penggiat acroyoga, mendirikan Studio Union Yoga sejak September 2014.

Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Lokasi studionya di kawasan prestisius, yakni Jl. Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia bersama kedua sahabat karibnya, Cocolio dan Junita Caesar, menjadi pemilik saham Union Yoga. Fajar mengatakan, modalnya berasal dari tabungannya yang dikumpulkan dalam empat tahun terakhir. Namun, Fajar enggan blak-blakan menyebutkan nilai investasinya. Pokoknya modalnya banyak sekali, saya butuh waktu empat tahun untuk menabung dan ditambah dari modal kedua teman saya itu,” tuturnya.

Menurutnya, yoga terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah acroyoga. Istilah acroyoga dikenal pertama kalinya di Montreal, Kanada dan Amerika Serikat tahun 2002-2003. Selanjutnya, acroyoga menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Bagi Fajar, acroyoga melambungkan popularitasnya sebagai praktisi yoga. “Saya boleh dibilang sebagai guru acroyoga pertama di Indonesia,” ujar lajang kelahiran 29 tahun silam ini.

Popularitasnya itu tidak dipetiknya dalam hitungan hari. Fajar menuturkan, seorang guru yoga memerlukan jam terbang agar kompentensinya teruji. Inilah yang dilakoninya selama bertahun-tahun sebelum mendirikan Union Yoga. Ia mengajar acroyoga sejak tahun 2006 untuk kelas privat. Ketika itu, dia tidak memungut bayaran sepeser pun. Fajar bahkan tak sungkan menyambangi kediaman kliennya yang ingin mengikuti kelas acroyoga-nya itu.

Ia mengenang, pada masa itu pernah mengajar 7 kelas dalam sehari. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Kira-kira ungkapan ini bisa menggambarkan perjuangan Fajar dalam membangun reputasinya.

Kini, kerja kerasnya membuahkan hasil. Union Yoga, menurut Fajar, adalah studio yoga yang menawarkan beragam pelatihan yoga, seperti acroyoga, bikram yoga atau sveda yoga. Sebagai seorang yogi (pelaku yoga), Fajar mempraktikkan yoga sejak masa kanak-kanak. Ia berlatih yoga dari ayah kandungnya, Hamid Sulaiman. Ayahnya yang berprofesi sebagai dokter, memang rajin mempratikkan yoga di rumahnya. Saya mendapat inspirasi dari ayah saya,” Fajar menegaskan.

Olah raga pernapasan dari India ini terus dipraktikkan Fajar, meski kesibukannya sebagai pegawai kantoran menyita waktu dan energinya. Ia mengungkapkan, setiap hari dirinya konsisten mempratikkan olah raga pernapasan dari India meski waktunya tersita ketika bekerja di IndoPacific Edelman (sekarang Edelman Indonesia) pada 2004-2009.

Kini, ia membuktikan dirinya sebagai pelopor acroyoga di Nusantara. Jumlah kliennya membludak, walau studionya itu berdirinya belum genap setahun. Sejumlah artis terkenal dilatih oleh Fajar. Sebut saja, Carrisa Putri, Ario Bayu, Chelsea Olivia, Rossa, Ivan Gunawan, hingga pendangdut Inul Daratista.

Promosi ala getok tular (word of mouth) dari artis berhasil menjaring puluhan artis lainnya yang kini menjadi murid Fajar. “Jumlah artis yang berlatih yoga dengan saya sekitar 50 orang. Umumnya mereka mengambil kelas privat,” kata alumni Jurusan Public Relations Universitas Paramadina, Jakarta ini. Selain itu, menurut Fajar, aksi acroyoga yang dilakukannya bersama dengan para pesohor sering diunggahnya di media sosial seperti Instagram, Path, Twitter dan lainnya. “Berpromosi di media sosial sangat efektif,” ia menambahkan.

Untuk tarif kelas privat, Fajar membanderolnya Rp 450-750 ribu, sedangkan kelas umum Rp 250 ribu. Durasi untuk setiap sesi itu ditetapkan selama 60 menit. Animo masyarakat pun cukup besar. “Sekitar 250 orang menjadi member Union Yoga dan animo peserta dari luar kota juga sangat bagus,” ucap Fajar. Selain dari Jakarta, pesertanya juga datang dari Bandung, Makassar Semarang dan Yogyakarta. Sebanyak 15 guru yoga menjadi mitra kerja sebagai instruktur di Union Yoga

Daya tampung maksimum studionya sebanyak 60 orang untuk setiap sesi. Lili, salah satu murid Union Yoga, mengatakan dirinya sangat betah berlatih yoga di Union Yoga lantaran pengelolanya tidak hanya memberikan pelatihan yoga, melainkan juga menerapkan hubungan persahabatan.Saya juga merasa tempat ini paling bagus untuk melatih acroyoga atau bikram yoga,” ucap Lili.


Untuk memperluas bisnisnya, Fajar tahun lalu membuka agensi guru yoga bernama Penyogastar. Ini adalah semacam wadah bagi para guru yoga privat. Tujuannya, menurut Fajar, agar bisa menjangkau kliennya yang tersebar di setiap penjuru Jakarta dan luar kota. Ia melakukan road show ke Makassar dan Surabaya untuk kelas indoor sejak Desember 2014. Pesertanya dibatasi 100 orang. “Ke depan, saya mau road show untuk kelas outdoor dan target pesertanya bisa mencapai 2.500 orang,” ujarnya berharap. Ia berencana pula membuka cabang Union Yoga di luar Jakarta.

Vicky Rachman & Istihanah

Riset: Gustyanita Pratiwi

The post Fajar Putra Membidik Laba dari Bisnis Acroyoga appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Dua Dunia Marsha Siagian

$
0
0
Marsha Damita Siagian

Tidak banyak orang yang bisa menyeimbangkan dua pilihan karier sekaligus. Namun Marsha Damita Siagian (31 tahun) bertekad menempuh karier sebagai perancang busana dan konsultan pajak. Meski pernah kebingungan mengatur waktu, kini Marsha telah menemukan ritme kerja yang tepat. “Dulu, waktu pertama kali mulai, sempet panik terus emosian karena kelihatannya kerjaan banyak, tapi sekarang manajemen proyeknya sudah jalan,” tutur dara lulusan Jurusan Akuntansi dan Keuangan University of Melbourne, Australia, dan Teknologi Desain Fashion London College of Fashion, Inggris ini.

Marsha Damita SiagianMarsha membesut lini busananya sejak 2012 di bawah label Marie et Lu, sesuai dengan nama neneknya, usai kuliah di London. Kemudian, lantaran masukan dari konsumen, finalis 15 besar Miss Indonesia 2006 dari Sumatera Utara itu mulai memberanikan diri menggunakan namanya sendiri, Marsha. “Label Marsha diperuntukkan buat wanita independen, bisa dipakai di banyak acara, berulang kali, agak spesial untuk orang yang memakai,” ujar perempuan berdarah Batak-Tionghoa-Manado itu memaparkan konsepnya.

Belakangan, dia menelurkan label keduanya, Dongengan. “Awalnya kakak saya yang punya ide. Karena, menurut dia, kain Indonesia kan banyak, sayang kalau nggak dipake. Dongengan itu baju harian batik seperti jumputan atau batik celup,” ungkapnya kepada SWA di Kafe Anomali, Setiabudi, Jakarta Selatan. Label Marsha dibanderol Rp 400 ribu-3,5 juta, sementara Dongengan ditawarkan Rp 300-700 ribu.

Meskipun Marsha telah mengantongi gelar perancang busana dari universitas kenamaan di Inggris, praktiknya jauh lebih melelahkan untuk mewujudkan impiannnya meluncurkan labelnya sendiri. Awal berkarier sebagai perancang busana, ia bekerja sama dengan temannya. Namun, karena kesibukan Marsha dan temannya yang sama-sama masih menjadi karyawan penuh waktu, akhirnya usaha pertamanya kandas. “Teman saya kerja, saya magang dan kerja, itu tahun 2010-2011. Akhirnya ya nggak lanjut,” ujar Marsha yang sempat berkarier sebagai Staf PDCA dan Investasi di Asuransi Astra Buana, dan dosen di La Salle College, Jakarta.

Selain itu, dia juga terbentur perbedaan yang cukup tajam antara teori di bangku kuliah dan realitas di lapangan. Saat studi di London, dia diajarkan bahwa tugasnya sebagai desainer hanya menggambar, mencari contoh kain, sementara ketika produksi, ia hanya tinggal membuat ilustrasi tampak depan dan belakang busananya. “Tapi kenyataannya di Indonesia tidak bisa begitu. Eksekusinya panjang. Nunggu ini-itunya lama,” ungkapnya blak-blakan.

Namun, Marsha, yang dua bulan terakhir bergabung di kantor konsultan pajak, terus berusaha. Akhirnya, dia mendapatkan klien profesional pertamanya, yakni diva pop Indonesia, Titi DJ. “Saya ikut lomba desain batik dan model busana untuk baju panggung Lady Gaga dan menang. Sayangnya, dia batal tampil di Indonesia, akhirnya dialihkanlah ke Titi DJ. Lombanya tahun 2012, beberapa bulan setelah meluncurkan merek Marie et Lu,” tuturnya. Selain Titi DJ, selebritas lain seperti Mika Tambayong juga menjadi pelanggannya.

Pergulatannya terus berlanjut. Sebagai desainer pemula, ia sungguh merasa terbebani dengan biaya sewa ruang pamer. “Kalau dihitung, memang nggak make sense bagi desainer baru untuk membayar sewa toko. Jadi, harus pintar membuka peluang usaha tanpa mengeluarkan modal banyak,” paparnya. Alhasil, ia lebih memilih menempuh jalur online untuk memasarkan busananya. “Sekarang saya masih jual direct, ada gerai di www.istyleup.com yaitu e-commerce mulai bulan lalu. Saya masih mencari ritel untuk toko fisik tapi belum ketemu yang fix,” ujarnya.

Keterbatasan itu tak membuatnya berhenti berkarya. Berkat perjuangannya, busana kreasinya sempat ditampilkan di sejumlah ajang bergengsi seperti acara Denny Malik 32 Tahun Berkarya di Jakarta pada 2012, dan menjadi desainer partisipan di Jakarta Fashion Week 2014. Ia juga menjadi finalis di ajang D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong, dua tahun silam.

Busana Marsha rupanya telah memiliki penggemarnya sendiri. Di antaranya Yuliana Sudjono, yang menjabat sebagai partner di Kantor Akuntan Publik Tanudiredja Wibisana & Rekan. Yuliana pertama kali mengenal label kreasi Marsha lantaran empat tahun silam melihat rekannya yang tak lain kakaknya Marsha mengenakan busana yang menarik perhatiannya. “Nah, kebetulan teman saya ini batiknya lucu-lucu, model anak muda. Kombinasi warna dan kainnya menarik sekali yang detailnya juga diperhatikan. Misalnya ada list-list dengan warna dan corak yang indah atau sambungan kain yang pas banget walaupun dari kain yang berbeda. Harganya juga pas. And last but not least, jahitannya rapi dan pas di badan,” tuturnya.

Sejak itu Yuliana berkenalan dengan label Marie et Lu dan Dongengan, serta menjadi pelanggan setianya hingga kini. “Untuk Marie et Lu juga karena kombinasi warna yang bagus, model yang unik dari ide yang orisinal dan keren. Bahannya pun terlihat eksklusif, dan kualitas jahitan bagus serta attention to detail yang memuaskan. Oh ya, last but not least, nyaman dipakai,” kata Yuliana memuji busana Marsha habis-habisan.

Berkat busana Marsha, Yuliana pun merasa tubuhnya terlihat langsing. “Teman saya yang melihat saya memakai batik Dongengan selalu menanyakan di mana saya menjahit batik tersebut, sampai-sampai kolega bisnis saya dari Singapura ikut tertarik memesan batik Dongengan, hahaha ….,” kata Yuliana seraya tertawa.

Yuliana menyarankan Marsha agar terus kreatif merancang busana supaya pamornya terus meningkat, serta agar busana batik kian membudaya di kalangan anak muda dan eksekutif muda Indonesia.

Marsha sendiri masih memiliki banyak rencana untuk melejitkan labelnya. Terlebih, kantornya memberikan fleksibilitas kerja yang memungkinkan dia menyalurkan hasrat bisnisnya. “Di kantor agak fleksibel. Ada hari-hari ketika jam kerja saya sudah cukup, saya bisa meminta persetujuan agar bisa mendapatkan waktu untuk mengejar bisnis. Saya mau mengembangkan ready to wear yang lebih ke knitwear karena saya lihat di Jakarta banyak yang pakai knitwear. Maunya membuat knitwear yang variatif karena kan knitwear nggak harus mutlak dibuat tebal,” paparnya semringah.

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Aulia Dhetira

BOKS:

Marsha Siagian

Pendidikan:

= Februari 2002-Maret 2005: Sarjana Muda Akunting & Keuangan University of Melbourne, Australia

= September 2006-Juni 2007: Further Education Certificate: Fashion Portfolio London College of Fashion, Inggris

= September 2007-Juni 2010: Sarjana Muda Teknologi Desain Fashion (Busana Wanita) London College of Fashion, Inggris

Pengalaman Kerja:

= Juli 2005-Agustus 2006: Staf Manajemen Proyek Strategis dan Perencanaan Korporat Asuransi Astra Buana, Indonesia

= Maret 2007: Studio Assistant Internship Ada Zanditon, Inggris

= Juli-Agustus 2008: Design Assistant Internship Bubble Girl, Indonesia

= Januari-Maret 2009: Studio Assistant Internship La Petite Salope, Inggris

= Juni-Agustus 2009: Asisten Desain MacMillan, Inggris

= Oktober-Desember 2010: Asisten Teknis Digital Print LCF Digital Print Bureau, Inggris

= Juli 2010-Agustus 2011: Pendiri dan Wakil Desainer Satu Tollefsen, Inggris

= Desember 2011-April 2014: Dosen Fakultas Desain Fashion LaSalle College International Jakarta, Indonesia

= Mei 2012: Denny Malik 32 Tahun Berkarya, Jakarta Theater, Indonesia

= September 2012-sekarang: Pendiri dan Creative Director for ready-to-wear luxe smart casual womenswear label Marie et Lu, Indonesia

April 2013-sekarang: Creative Director for ready-to-wear traditional Indonesian textile-inspired womenswear and menswear label Dongengan, Indonesia

Pencapaian:

= Agustus 2006: 15 Finalis Top Miss Indonesia 2006, Indonesia
=
Juni 2007: Pemenang kompetisi colour matching: Society of Dyers and Colourists, Inggris

= Oktober 2013: Finalis kompetisi desain fashion: D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong

Acara:

Oktober 2013: Signature by LaSalle International College Jakarta, Senayan City, Jakarta, Indonesia; Desainer Partisipan Jakarta Fashion Week 2014

The post Dua Dunia Marsha Siagian appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional

$
0
0
Erwin Wijaya

Erwin Wijaya mendirikan PT Indowijaya Sakti Teguh pada 2012. Perusahaannya itu memproduksi cat tembok bermerek Puffin Paint. Erwin adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya, Effendy Wijaya, adalah pendiri sekaligus pemilik PT Indopenta Sakti Teguh.

Erwin menceritakan, ayahnya merupakan pengusaha bahan bangunan, khususnya keramik dan granit, yang dirintisnya 25 tahun silam. Indopenta menjual keramik bermerek Grand Royal. Perusahaan yang berbasis di Jakarta ini memiliki jaringan distribusi di sejumlah kota di Indonesia. Pabrik keramiknya berlokasi di Bogor, Jawa Barat.

Nah, kiprah Erwin menggeluti bisnis cat tembok bermula dari pengamatan dan pengalamannya di bisnis bahan-bahan bangunan di Indopenta. “Saya melihat peluang bisnis cat tembok. Selama ini cat tembok adalah satu-satunya bahan bangunan yang belum dijual Indopenta,” ungkapnya. Dia meyakini, peluang pasar cat tembok sangat potensial karena skala pasarnya sangat besar. “Kalau keramik itu kan hanya sekali digunakan konsumen dalam jangka waktu yang lebih lama, tetapi konsumsi untuk cat mungkin setiap tiga tahun sekali, sehingga market-nya besar sekali,” ia menjelaskan alasannya menekuni bisnis cat tembok.

Sebelum ke Tanah Air, Erwin mengasah jiwa kewirausahaannya di China dengan membuka restoran Ipotsuki. Erwin bertualang ke Negeri Tirai Bambu seusai merampungkan kuliah S-1 pada 2011 di University of International Business and Economics, Victoria University, Australia. Ia tinggal di Beijing, China, untuk menimba ilmu bahasa selama satu tahun. Setelah menimba ilmu bisnis di negara tersebut, ia kembali ke Tanah Air dan membantu perusahaan keluarganya, Indopenta.

Perjalanan bisnis Erwin tidak bisa dilepaskan dari kegigihannya mendirikan Indowijaya pada 2012. Modal awal pendirian perusahaan tersebut bersumber dari pinjaman dan subsidi Indopenta. Indowijaya memproduksi cat tembok yang bermerek Puffin Paint. Erwin bercita-cita, Puffin Paint menjadi cat dinding yang menguasai pasar nasional dan internasional. “Puffin Paint beroperasi hampir tiga tahun. Sebagai perusahaan baru, omset kami sekitar Rp 500 juta tiap bulan dengan market share 5%,” tuturnya.

Awalnya, cat dinding yang dijual Ewrin nyaris mirip dengan produk sejenis di pasaran. “Kinerja kami mengalami naik-turun di tahun pertama,” ia mengungkapkan. Ia lalu mencari celah bisnis agar cat temboknya bisa digemari konsumen serta mendongkrak omsetnya. Berdasarkan pengamatannya, Erwin memproduksi cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Alasannya, cat tembok premium yang sudah ada di pasaran memiliki pangsa pasar tersendiri dan konsumen lebih mengutamakan merek-merek cat tembok tersebut. Akibatnya, konsumen tidak mudah jatuh hati ke merek cat tembok lainnya. Itulah alasan Erwin memproduksi cat tembok yang menyasar segmen pasar tersebut. “Akhirnya, saya memproduksi Nucolour, yaitu cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Produk tersebut lumayan laris,” ujarnya.

Nucolour merupakan cat dinding eksterior. Harga jualnya Rp 1,3-1,4 juta per kaleng yang berbobot 25 kilogram. Garansinya lima tahun. Respons pasar terhadap Nucolour sangat menggembirakan. Lalu, Erwin memperluas sayap bisnisnya melalui distribusi yang dimilikinya sendiri. “Jumlah distributor sebanyak 25 cabang, mayoritas berada di Pulau Jawa, sedangkan cabang di luar Pulau Jawa sebanyak lima unit,” pria kelahiran Jakarta 17 Maret 1987 ini menerangkan. Tahun lalu, ia mengubah strategi distribusi Puffin Paint ke agen-agen penjualan. Tujuannya, agar saluran penjualan cat temboknya lebih fokus dan tepat sasaran. “Saat ini, jumlahnya sebanyak lima agen penjualan. Nantinya penjualan melalui distributor mulai dikurangi karena saya akan menjualnya ke agen-agen penjualan,” Erwin menambahkan.

Saluran penjualan cat temboknya dibarengi dengan produk yang inovatif. Indowijaya pada September 2015 merilis cat antiserangga yang diberi merek Insect Guard. Kehadiran produk yang inovatif adalah opsi yang dipilih Erwin untuk menerobos pasar. Hitungannya tidak meleset karena Insect Guard mampu mendongkrak nama perusahaannya dan Puffin Paint. “Insect Guard adalah produk buatan Indonesia yang diproduksi di pabrik kami di Cileungsi, Bogor,” katanya dengan nada bangga.

Erwin melihat ceruk bisnis yang menggiurkan bagi pasar cat tembok antiserangga. Berdasarkan kajian internal Indowijaya, ia menyimpulkan bahwa konsumen domestik membutuhkan cat tembok antiserangga. Bahan Insect Guard ini tediri dari bahan pengikat akrilik khusus dan mengandung zat kimia alami yang berasal dari ekstrak biologis dan tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengusir aneka serangga. Produk ini sudah melalui serangkaian tes dan ujicoba serta terdaftar di HSE (Health & Safety Executive) Inggris. Daya tahan cat ini lebih dari tiga tahun, mudah dibersihkan, aman, dan antijamur. Cat tersebut sudah diproduksi dalam 10 warna. Erwin menyebutkan, pihaknya di tahun 2016 akan menambah varian warnanya hingga 1.100 pilihan. “Sedangkan target penjualan Insect Guard pada semester I tahun ini sebesar 300 ton/bulan,ujarnya. Harga cat itu dibanderol Rp 200 ribu untuk kemasan 5 kg atau Rp 1,2 juta untuk kemasan 25 kg.

Erwin mengklaim, Insect Guard tidak ada pesaingnya di pasar domestik. Cat antiserangga di luar negeri, lanjutnya, tersedia di Jepang, Malaysia, serta negara-negara Afrika dan Eropa. Ke depan, ia akan menguji tes tingkat keracunan Insect Guard di Singapura. “Hasil tes di Singapura menjadi modal untuk mengekspornya ke luar negeri,” tuturnya. Untuk menaikkan performanya, Erwin bertekad untuk terus berinovasi serta mengembangkan produk dan komunikasi pemasarannya. Effendy, sang ayah, menyarankan Erwin agar rajin memantau langsung operasional bisnisnya. “Agar mendapatkan pengalaman yang lebih banyak,” Effendy menegaskan.(*)

Vicky Rachman & Tiffany Diahnisa

Riset: Muhammad Khoirul Umam

The post Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki

$
0
0
Laksita Pradnya P

Cantik, muda dan kaya. Itulah gambaran sosok belia yang memiliki nama Laksita Pradnya P. Di usia 20 tahun, ia mampu meraup pundi-pundi uang dari bisnis kaus kaki yang dibesutnya. Lewat merek Voria Socks, dara berdarah Kebumen, Jawa Tengah, ini menawarkan produk kaus kaki yang kerap dianggap murah menjadi produk branded. Hanya dalam tempo tiga tahun, Laksita mampu mendulang omset hingga Rp 300 juta per bulan dari jualan kaus kaki.

Laksita Pradnya PLaksita mengamati, selama ini kaus kaki tidak menjadi produk fashion. Warnanya monoton dan tidak variatif. Dari hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya, ia sampai pada kesimpulan bahwa pasar sejatinya jenuh dengan kaus kaki yang begitu-begitu saja. “Padahal, mereka sebenarnya ingin fashion yang lebih gila. Dari situ saya mulai lihat peluang,” dia menceritakan ikhwal ketertarikannya menekuni bisnis kaus kaki.

Mengawali bisnis, ia menjual kaus kaki motif tribal yang ditemukannya di Pasar Baru, kawasan pertokoan di Bandung. Waktu itu ia ingat modalnya Rp 45 ribu. Ia kemudian menjual kembali melalui Instagram. “Ternyata, pasarnya ada,” katanya. Sadar bahwa kaus kaki yang dijualnya adalah produk sisa ekspor, ia pun memberanikan diri mencari mitra pabrik supaya bisnisnya bisa terus menggelinding. Setelah mendapatkan mitra yang bisa diajak kerja sama, ia kemudian melakukan riset produk untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan motif yang bagus. Menggandeng salah satu pabrik kaus kaki di Kota Kembang, ia kemudian membesut Voria Socks, tiga tahun lalu. “(Nama) Voria diambil dari euforia. Saya berharap kaus kaki ciptaan saya ini bisa menjadi sebuah euforia,” ujarnya.

Ternyata, respons pasar bagus. Kaus kaki yang dipandang murah, jadi sesuatu yang branded dan masuk ke kelas menangah-atas. Pemasaran melalui Instagram masih menjadi pilihannya. “Saat ini memang era visual. Semua yang bagus secara visual bisa dipasarkan. Oleh sebab itu, saya serius dalam memasarkan lewat online. Setelah difoto, kaus kaki yang saya buat terlebih dulu saya poles,” paparnya. Agar lebih banyak yang lihat, ia juga menggeber strategi mention ke teman untuk dapat diskon. “Istilahnya semacam getok tular. Dan, ternyata hal tersebut berhasil. Selain itu, Voria juga memperbolehkan untuk membeli kaus kaki hanya satu biji, bukan sepasang. Jatuhnya malah lebih murah,” ujarnya.

Laksita juga menjadi pemasok untuk reseller melalui toko-toko di beberapa kota di Indonesia dan luar negeri. Tak mengherankan, pasarnya sudah ada di seluruh Indonesia. Pasar luar negeri pun tak luput digarapnya. Voria sudah mengepakkan sayap ke Singapura, Malaysia, Brunei dan Australia. Namun, dominasinya masih pasar lokal yang mencapai 70%. Dan, Bali menjadi kontributor terbesar untuk penjualan. Dalam sebulan, ia mencatat produksi mencapai 500 pasang. Harganya dibanderol Rp 30.000 untuk satu kaus kaki. Sepasang dbanderol Rp 85.000. “Mengapa harga per biji jatuhnya lebih murah, karena kami ingin menciptakan tren baru bahwa kaus kaki tidak harus sama, tetapi bisa mix and match,” ungkapnya. Untuk branding, ia berani memakai artis untuk meng-endorse Voria, antara lain Pevita Pearce.

Diakuinya, perjalanan meraih kesuksesan bukan tanpa kendala. Ketika menggulirkan bisnis kaus kaki, banyak yang mencemooh. Bahkan, sang ibu pun sempat menentangnya. “Orang-orang yang nyinyir dan mencemooh pasti ada. Mereka selalu menjatuhkan saya dengan kata kata ‘untuk apa bisnis kaus kaki, kan tidak kelihatan’. Ya sudah, saya bikin supaya terlihat,” ujarnya. Sementara, sang ibu menentang karena ia ingin dirinya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Ibu saya sempat kecewa saya tidak mau kuliah,” imbuhnya.

Halangan tersebut tak membuatnya surut melangkah. “Saya tetap keep easy dan menjalankan bisnis saya. Saya makin semangat, saya menjadikan semua celotehan mereka sebagai mesin pendorong saya, untuk membuktikan sukses itu tidak hanya dimulai dari gelar,” paparnya. Waktu memulai menawarkan produk pun banyak penolakan. “Karena, kaus kaki itu memang tidak terlihat dan masih sangat biasa. Belum istimewa. Makanya, dari situ kemudian saya buat kaus kaki ini lebih istimewa,” ucapnya.

Ia menuturkan, sejak kecil ia memang sudah hobi berbisnis. Dibesarkan oleh ibu yang single parent, ibunya selalu mengajarkan dirinya untuk berusaha sebelum mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. “Ibu saya ingin menunjukkan bahwa cari uang itu tidak gampang. Karena didikan demikian, saya akhirnya mulai peka dengan barang,” katanya . Misalnya, saat SD, ia sudah berjualan pensil. Saat SMP, ia berjualan pulsa. “Sempat dijuluki juragan pulsa. Dari tiga angkatan, yang jualan pulsa hanya saya,” tuturnya.

Saat SMA, ia semakin rajin berjualan, mulai dari kuliner hingga kerudung. Sampai suatu saat ia menjadi korban bully karena diketahui dari tes IQ, ternyata IQ-nya hanya rata-rata. “Temen-teman menertawakan saya,” ceritanya. Bahkan, ada satu teman yang mengatakan bahwa ia tidak akan sukses dengan IQ hanya rata-rata. “Intinya, dia meremehkan saya waktu itu. Saya sempat nangis,” imbuhnya. Ia pun kemudian bertekad untuk membuktikan kepada temannya tersebut bahwa ia bisa sukses. “Saya bahkan sampai tweet dan mention ke temen saya dengan caps lock semua, “Lihat, lima tahun lagi siapa yang lebih sukses di antara kita, saking saya emosi,” ceritanya.

Cemoohan itu juga membuat ia merasa tertantang. Ia lalu memutuskan berbisnis. Ia menentang keinginan sang ibu untuk melanjutkan pendidikan. Pertemuan dengan pemilik Zanana Chips membuahkan usaha bareng untuk ayam lunak dengan brand Ayam Razet. Tak bertahan lama karena produksi tidak stabil, ia melirik bisnis risol. Dalam tiga bulan bisnis risolnya punya tiga cabang. Namun, lagi-lagi karena kendala masalah produksi, bisnis risolnya juga tutup. Bisnis minuman jus kemudian dijalaninya. Ternyata, hanya bertahan tiga bulan.

Namun, ia tidak kapok. Ia bertekad akan tetap menekuni dunia usaha. Ia masuk Akademi Entrepreneur. Ia kemudian melirik bisnis fashion. “Saya belajar dari pengalaman bisnis kuliner saya, ternyata selalu ngadat di produksi. Saya akhirnya mencari yang saya langsung selling. Saya jual baju, jual kerudung, di toko online. Sampai akhirnya waktu saya jalan-jalan, saya menemukan kaus kaki motif tribal yang menurut saya bagus, namun dijual dengan harga cukup murah,” paparnya.

Kini, lewat Voria Socks, ia terbilang sukses. “Saya punya impian, suatu saat saya bisa punya gerai offline yang konsepnya sederhana, seperti rumah Hobbit. Jadi, semua bisa melihat berbagai macam produk saya sembari membeli. Saya juga sedang berusaha meningkatkan kualitas kaus kaki saya agar di pasar ekspor, kualitasnya tidak kalah dibanding kaus kaki branded,” paparnya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Rizky C. Septania

The post Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Cubeacon, Masuk di Ceruk Bisnis Digital Baru

$
0
0
Tiyo Avianto

Kian banyak saja perusahaan digital hasil kreasi anak muda Indonesia bermunculan. Salah satunya adalah Cubeacon. Startup di bidang iBeacon ini menjual produk berbasis layanan backend as a services (BaaS), dan sekaligus menjual hardware-nya. iBeacon sendiri merupakan implementasi produk Apple yang berbasis teknologi nirkabel Bluetooth low energy, yang memungkinan pengiriman informasi ke smartphone berdasarkan lokasi tertentu.

Tiyo Avianto

Tiyo Avianto, CEO Cubeacon

Cubeacon – dikibarkan dengan bendera PT Eyro Digital Teknologi – memang membuat hardware bernama Cubeacon Box yang bisa digunakan untuk mendeteksi perangkat konsumen yang berada di dekat lokasi pemasangan. Melalui alat itu, para pemilik bisnis bisa memberikan informasi (blast) promosi atau diskon ke ponsel konsumen. Selain itu, bisa berguna untuk menganalisis perilaku konsumen dan meluncurkan kampanye. Eyro Digital menawarkan Cubeacon Developer Kit berupa tiga buah Cubeacon Box dan akses ke Cubeacon BaaS gratis selama tiga bulan dengan banderol harga US$ 90 (Rp 1,1 juta).

Lahirnya startup ini tak lepas dari kreativitas tiga pendirinya: Riza Alaudinsyah, Fariz Yunian, dan Tiyo Avianto yang sejak 2013 meriset dan resmi mendirikan Cubeacon April 2014. “Teknologi ini difokuskan untuk program loyalitas. Memang di Indonesia masih dianggap dini, makanya kami masih fokus pasar Jepang yang sudah familier dengan teknologi iBeacon dan program loyalitas,” kata Tiyo, CEO Cubeacon.

Tiyo menjelaskan, hingga kini pihaknya telah menerima sejumlah pesanan dari Amerika Serikat, Brasil dan Indonesia. Saat ini, lanjutnya, produksi hardware Cubeacon masih dilakukan di China, khususnya pemasangan PCB. Sementara pembuatan penutup plastik dan kemasan dilakukan di Jawa Timur. Pihaknya punya kapasitas produksi 2.500 Cubeacon per bulan. Kini Cubeacon sudah mendapat sertifikat hardware CE dari Eropa dan sertifikat FCC dari AS.

Untuk bisa menggulirkan bisnis seperti saat ini, Tiyo dkk. sudah mengeluarkan biaya belajar yang cukup besar. Misalnya, dalam produksi, ia harus keluar duit banyak untuk bisa membuat prototipe yang baik. Ia sempat berganti 11 kali sehingga banyak uang “terbakar”. “Kami menghabiskan sekitar Rp 400 juta untuk membuat prototipe produk,” ceritanya.

Demikian pula dalam pemasaran, ia pernah menjual menjual melalui website sendiri agar pembeli bisa melakukan praorder Cubeacon, tetapi ternyata usaha itu tak berjalan karena tak ada order datang.

Pihaknya baru mulai mendapat order setelah menjual di online marketplace terkemuka seperti Lazada, Alibaba dan Amazon. Selain itu juga berpromosi di forum, grup pekerja TI, dan Internet of Things (IoT) yang ternyata efektif.

Cubeacon sendiri makin bergaung setelah bergabung dalam program Indigo Apprentice Awards 2015 yang diselenggarakan PT Telkom. Dari 1.000-an peserta yang diseleksi, ternyata Cubeacon menjadi pemenang nomor satu, dengan membawa ekosistem IoT dan machine to machine (M2M)). Dengan kemenangan itu, Cubeacon menjadi bagian dari partner Telkom. Akses pasar pun didapat. Cubeacon menjadi produk yang melengkapi produk dan layanan Telkom untuk divisi layanan digital.

Arif Musa, GM Telkom Digital Service, menjelaskan, pihaknya memang mencari produk baru dalam rangka visi Telkom menjadi King of Digital. “Kami memang mencari produk untuk mendukung bisnis, dan Cubeacon ini produk yang sesuai,” ucap Arif. Cubeacon, lanjutnya, melengkapi bisnis big data Telkom karena bisa memindai data melalui sensor. “Telkom membutuhkan produk yang bisa dikolaborasi dengan layanan yang sudah ada terutama terkait dengan IoT,” kata Arif.

Cubeacon yang juga memenangi Indonesia ICT Award dan Asia Pacific ICT Award di Sri Lanka, dikelola 8 orang yang berkantor di Surabaya. Ke depan pihaknya ingin agar Cubeacon seperti Go Pro, produk startup yang sukses. “Kami ingin menjual produk yang bisa digunakan sehari-hari,” tutur Tiyo yang pernah bekerja di bagian R&D PT Panasonic Indonesia ini.

Tentu keinginan ini tidak mustahil sepanjang mereka persisten dan punya strategi yang ciamik. Maklum, pemain seperti mereka terus lahir untuk mencicipi bisnis digital.

Sudarmadi & Herning Banirestu

The post Cubeacon, Masuk di Ceruk Bisnis Digital Baru appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Yenda Handriaman & Dian Puspitasari, Menangkap Peluang di Bisnis Cuci Sepatu

$
0
0
Yenda Handriaman

Memulai bisnis itu nggak perlu ribet. Dari hal yang sederhana, seperti mencuci sepatu, ternyata bisa membuahkan bisnis yang ciamik. Lihat saja apa yang dilakukan Yenda Handriaman dan Dian Puspitasari. Kerap kesulitan mencari tempat pencucian sepatu, dua sekawan ini lantas membesut jasa binatu sepatu. “Kalau mau mencuci sepatu, cukup sulit. Ada memang di beberapa mal, namun harganya cukup mahal,” ungkap Yenda. Bagi mereka, sepatu juga perlu perawatan. Jadi, tak hanya pakaian yang kudu kinclong. Alas kaki pun harus mendapat perawatan yang baik.

Yenda Handriaman

Yenda Handriaman

Apalagi, Yenda dan Dian penggemar sepatu. Mereka punya koleksi beragam sepatu. Menurut Yenda, kolektor sepatu tidak sembarangan membersihkan sepatu. Kalaupun diserahkan kepada jasa binatu sepatu, mereka harus yakin sepatunya akan dirawat dan dibersihkan dengan benar. Yenda dan Dian juga pernah merentas karier di perusahaan sepatu asal Amerika Serikat. Tak ayal, pengetahuan tentang sepatu dan hobi mengoleksi sepatu menjadi bekal menggelindingkan Shoebible. Nama ini dipilih karena mereka ingin usaha mereka menjadi kitab tentang sepatu. “Targetnya, semua ada tentang sepatu, dari mau nyuci, produk pembersih, betulin sepatu, sampai pewarnaan sepatu,” tutur Yenda.

Dengan modal Rp 70 juta, mereka membesut Shoebible di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta, Oktober 2014. Modal itu banyak dialoksikan untuk membeli sejumlah mesin. Shoebible menerima jasa cuci bersih semua jenis sepatu. Namun, tarif pencucian dibedakan menurut bahan sepatu. Untuk sepatu sneaker dan sepatu bahan kanvas, tarif cuci dibanderol mulai dari Rp 60.000 per pasang. Sementara, untuk pencucian sepatu dari bahan suede dan kulit dipatok Rp 147.000 per pasang.

Awalnya, Shoebible menyasar segmen kawula muda. Ternyata, setelah peluncuran, yang lebih banyak cuci sepatu atau beli produk justru ibu-ibu dan bapak-bapak. Rupanya, merekalah yang sehari-harinya mengalami kesulitan dalam hal mencuci sepatu. “Sekarang targetnya semua orang, karena ternyata semua orang butuh jasa ini,” ujar Yenda. Tak mengherankan, dalam waktu tiga bulan, bisnis mereka sudah mencapai titik impas. Dalam tempo setahun, Shoebible memiliki lebih dari delapan gerai yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Padang dan Yogyakarta. Tiga gerai milik sendiri dan sisanya kemitraan. “Tahun ini kami akan buka di Puri Indah Mall,” kata pria berusia 33 tahun itu.

Kehadiran Shoebible direspons antusias oleh Sigi Wimala. Model dan aktris ini menjadi pelanggan Shoebible. “Sudah sering banget, karena sepatuku banyak banget dan selalu dipakai outdoor, maka harus dibersihin,” katanya. Di matanya, Shoebible adalah solusi yang muncul pada saat yang tepat ketika kesadaran olah raga masyarakat lagi tinggi dan aktivitas luar ruang semakin ramai. Menurutnya, sepatu olah raga bukan investasi yang murah. Terutama, saat orang mulai serius menekuni olah raga, kebutuhan sepatu yang spesifik akan berbeda. Dan, tentunya semua orang ingin merawat sepatunya agar lebih tahan lama, tetapi perawatannya tidak boleh sembarangan. “Hadirnya Shoebible menjawab permasalahan tersebut. Kini terlihat cabang dan produknya sudah tersebar di mana-mana, ini menunjukkan kesuksesannya. Mulai dari branding, komunikasi hingga service-nya, harus aku akui, mereka sangat bagus,” ujar Sigi memuji.

Meski jasa binatu sepatu belum menjamur, Yenda melakukan diferensiasi. “Yang membedakan Shoebible dengan pemain lain adalah produk pembersihnya dibuat sendiri,” ungkap Yenda. Produk pembersih yang diberi nama Swasher itu terbuat dari bahan minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Produk sabunnya ia lempar ke vendor untuk pembuatannya. Hanya saja, mereka punya spesifikasi kandungannya. Agar penetrasi pasar meluas, produk sabunnya dijual secara online dan dijual juga di toko-toko tertentu. Dipatok dari harga Rp 59 ribu untuk 60 ml sampai Rp 198 ribu untuk 250 ml, Swasher banyak diminati konsumen luar kota.

Mereka juga menjual alat pembersihnya, seperti sikat yang diimpor dari China. Harga sikat dibanderol mulai Rp 60 ribuan hingga Rp 90 ribuan. Sikatnya ada tiga jenis: sikat untuk semua jenis sepatu, sikat khusus bagian bawah sepatu, dan sikat untuk sepatu kulit yang bahannya dari bulu kuda. “Sehingga ada pilihan, bisa mencuci di sini ataupun mencuci di rumah,” kata Yenda.

Menurut Yenda, membersihkan sepatu, pada dasarnya sama, yakni dengan disikat. “Beda cara saja,” ujarnya. Di Shoebible, ada mesin pengering dan menggunakan mesin steam. Ia mematok maksimum lima hari kerja untuk pencucian sepatu. “Kalau sudah selesai lebih cepat, kami pasti langsung menghubungi konsumen kami,” katanya. Selain itu, ada pilihan untuk pencucian ekpres dengan waktu maksimum dua hari kerja. Omsetnya, 300-400 pasang sepatu per bulan di satu cabang. Atau, setiap gerai sekitar Rp 15 juta. Omset gerai di Pasar Santa Rp 30-40 juta.

Yenda memilih mempekerjakan anak-anak kampus. “Biasanya mereka lebih mengerti mengenai sepatu,” katanya. Anak-anak muda yang datang ke Shoebible pun, menurutnya, merasa lebih nyaman karena dilayani petugas yang tak hanya paham tentang sepatu, tetapi gayanya juga mirip mereka.

Selama ini, strategi pemasarannya dengan memanfaatkan media sosial dan jaringan pertemanan. “Mereka mencoba cuci sepatu di Shoebible dan dengan suka rela mereka posting di medsos, jadi mulailah kami dikenal orang,” kata Yenda. Pihaknya juga kerap posting video cara-cara mencuci sepatu untuk edukasi kepada masyarakat awam. “Malahan, banyak sekali yang menanyakan training bagi yang mau buka laundry sepatu tetapi belum bisa di-handle,” imbuhnya.

Diakui Yenda, meski pasar jasa binatu sepatu memiliki prospek bagus dan pasarnya terbuka, bukan berarti tak ada tantangan. Menurutnya, setiap konsumen ekspektasinya berbeda. Kebanyakan berpikir sepatunya akan menjadi seperti baru setelah dicuci. “Padahal tidak, semuanya tergantung pada sepatunya,” ungkapnya. Adapun dari sisi kompetisi bisnis, memang follower mulai bermunculan. “Yang ngikutin banyak, tetapi menurut saya tidak masalah, berarti kami melakukan sesuatu yang benar. Dengan adanya mereka, orang jadi semakin banyak yang tahu bahwa sekarang ada jasa cuci sepatu.”

Ke depan, ia punya target meningkatkan pelayanan, seperti akan ada penambahan coloring, misalnya sepatu kanvas yang akan diwarnai. Juga, ada jasa perbaikan sepatu karena ternyata pasarnya ada. Sistem waralaba yang selama ini diterapkan akan diubah karena mereka ingin ada kepemilikan saham. “Supaya ada kontrol,” kata Yenda.(*)

Henni T. Soelaeman dan Sri Niken Handayani

The post Yenda Handriaman & Dian Puspitasari, Menangkap Peluang di Bisnis Cuci Sepatu appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Viewing all 133 articles
Browse latest View live


Latest Images