Quantcast
Channel: Indonesia Youngster Inc.
Viewing all 133 articles
Browse latest View live

William Tunggaldjaja

$
0
0
William Tunggaldjaja

~~

Ketika didapuk sebagai Country Manager Path Indonesia yang pertama, William Tunggaldjaja merasa itu sebagai peluang sekaligus tantangan. Dengan pengalaman menjadi Country Manager Zomato Indonesia, tidak sulit baginya menghadapi tantangan karier barunya itu. Setidaknya, ada dua alasan yang membuatnya jatuh hati kepada Path. “Pertama, memiliki kesamaan visi dan misi. Kedua, dibutuhkan skill besar sekali. Saya maunya bukan hanya fokus di makanan, tetapi dari semua aspek orang dalam membangun relasi dengan yang lain. Itu kan sesuatu yang berbeda dan mass market. Maka, saya pikir skill yang besar dibutuhkan di Path,” ujar William.

Eksekutif muda lulusan Jurusan Mechanical Engineering University of California, Berkeley, AS, ini ingin meningkatkan pengalaman pengguna Path Indonesia. Walau harus berjuang sendiri di awal keberadaan Path Indonesia, pria kelahiran Bandung 30 tahun lalu ini justru semakin tertarik karena melihat potensi yang dimiliki Indonesia.

William mengklaim, sebenarnya keunikan datang dari Path sendiri. Path itu satu-satunya media sosial yang memberikan eksklusivitas. Path juga medsos yang merepresentasikan karakter yang sama dari pengguna, baik saat di Path maupun di dunia nyata. Contohnya, saat sharing kejadian tertentu, ada emosi yang bukan hanya love, tetapi juga smile, laugh, sad, dan yang lain yang mencakup banyak emosi. Di Path juga bisa berbagi saat kita mendengarkan musik, membaca buku, bangun tidur bahkan tidur juga bisa. Jadi, itu benar-benar menggambarkan kehidupan nyata seseorang.

Saat ini tanggung jawabnya adalah menjembatani pengguna Path Indonesia dan Path di San Francisco. “Kami ingin mendengarkan feedback pengguna Path di Indonesia. Contohnya, kami juga punya kerja sama dengan para pembuat stiker lokal untuk memproduksi stiker made in Indonesia dan kami masukkan ke Path. Itu kan jatuhnya lebih localized. Kami ingin fitur-fitur dikembangkan di Indonesia dan dibawa ke luar negeri. Jadi, kalau ada sesuatu, jangan sampai itu hanya ada di Indonesia, tetapi seluruh dunia bisa menikmati inovasi tersebut,” dia menguraikan.

Yang jelas, potensi bisnis Path ke depan sangat besar. Potensi besar yang dimiliki Indonesia menjadi peluang William untuk meningkatkan customer experience pengguna. Timnya akan mengembangkan fitur yang tidak hanya disukai orang Indonesia, tetapi seluruh dunia. Juga, menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh atau perusahaan-perusahaan terkait visi-misi Path guna memperkuat ekosistemnya.

“Ke depan, saya ingin semua orang yang memiliki smartphone akan nge-Path. Intinya, saya ingin Path menjadi sentral dalam penggunaan smartphone,” ucap William tentang mimpinya. Untuk mewujudkannya, dia menempuh dua langkah. Pertama, mengusahakan agar produk Path selalu bagus. Ini tecermin dari customer experience yang harus ditingkatkan melalui fitur-fitur baru. Kedua, berinovasi. Contohnya, beberapa waktu lalu merilis fitur Stickers on Photos, di mana saat memasukkan foto, kita bisa sematkan juga stikernya.(*)

Eva M. Rahayu/Destiwati Sitanggang

The post William Tunggaldjaja appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Bisnis Penghilang Rambut Ala Fadly Sahab

$
0
0
Fadly Sahab, CEO Zap

Fadly Sahab, CEO Zap

Gairah untuk menjadi wirausaha membuat Fadly Sahab gemar mencoba aneka bisnis. Hingga akhirnya, bisnis hair removal alias penghilang rambut halus membuat peruntungan kelahiran 11 Agustus 1984 ini tumbuh lebat. Lulusan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah Universitas Gadjah Mada itu kini memiliki sembilan gerai salon penghilang rambut halus Zap yang dibesutnya pada 2009.

Fadly tak menyangka bisnisnya bisa sesukses sekarang. Sebab, awalnya ia hanya menyasar segmen orang asing. Bisnisnya bermula dari pembicaraan dengan teman-temannya, yang salah satunya orang asing dari Australia. “Dia punya banyak rambut. Kalau di Australia, hair removal treatment sudah ramai sekali,” ujar CEO Zap ini mengenang peristiwa pada 2009.

Fadly yang sudah ngebet menjadi pengusaha lantas patungan dengan temannya untuk membeli mesin penghilang rambut seharga Rp 100 juta. Dia menerapkan layanan jemput bola, alias melayani dari rumah ke rumah bagi peminat jasanya. Lantaran modal cekak, ia meminjam mobil orang tuanya untuk membawa mesinnya.

Sekadar info, proses kerja Zap agak berbeda dari layanan penghilang rambut lainnya. Banyak jasa penghilang rambut menggunakan sistem waxing atau cabut bulu (plucking) yang lumayan menyakitkan. Adapun Zap menggunakan metode penyinaran ke daerah yang diinginkan, sehingga diklaim lebih nyaman. Sinar tersebut kemudian menjadi energi panas yang merambat hingga ke akar rambut, sehingga rambut halus bisa hilang secara permanen. Metode ini bisa digunakan untuk berbagai area tubuh seperti wajah, kaki, tangan, ketiak, sampai bikini line. Tarif layanannya mulai dari Rp 199 ribu hingga Rp 899 ribu untuk perawatan tunggal.

Omset di bulan-bulan pertama hanya sekitar Rp 2 juta, tetapi Fadly pantang mundur. Ia malah menggandeng sepupunya yang memiliki salon di Perumahan Mediterania, Pos Pengumben, Jakarta Barat, untuk mendirikan gerai Zap perdana dengan sistem bagi hasil. Selanjutnya, ia juga membesut situs web sendiri, sehingga ia bisa banyak bercakap-cakap dengan calon konsumen. Diakuinya, di masa awal, ia merangkap segalanya, mulai dari terapis, tukang angkut mesin sampai sopir. “Di awal, kami memang harus jadi superman, karena belum bisa merekrut pegawai,” ujarnya blak-blakan.

Peruntungannya ternyata segera berubah. Pada satu ketika , Fadly memutuskan menjajal beriklan melalui Facebook. Ternyata, sukses besar. Tak hentinya orang bertanya melalui Facebook mengenai Zap. Arus lalu lintas di situs webnya pun turut meroket berkat iklan tersebut. Omset dan labanya pun tumbuh. Sejak itu, ia terus membuka gerai hingga kini memiliki sembilan gerai. Lima gerai di Jakarta dan selebihnya berlokasi di Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya. Meski demikian, hingga kini layanan datang ke rumah masih dipertahankan.

Uniknya, untuk promosi, Fadly menggandeng berbagai majalah kecantikan dengan sistem barter vocer layanan. Ia dengan jeli menyebar brosur berisi vocer layanan Zap di berbagai acara pameran vendor pernikahan, sampai konser musik. Ia memasang papan iklan di sejumlah titik strategis, mengikuti pameran pernikahan, mensponsori acara di kampus, hingga bekerja sama dengan blogger. Ia juga bekerja sama dengan Universitas Bina Nusantara dengan memberikan potongan 20% bagi mahasiswanya.

Fadly memang kreatif dalam memasarkan layanannya. Ia bahkan sampai menjaring agen pemasaran rahasia. Caranya, dengan menyebar brosur ke berbagai salon. Nah, jika brosur di salon itu digunakan oleh pengunjungnya, salon itu akan mendapat komisi penjualan.

Berdasarkan pertanyaan kepada pelanggan, ternyata jalur getok tular dan online merupakan penyumbang klien terbesarnya. “Dengan bertanya, kita akan tahu marketing mana yang tepat untuk diterapkan,” kata Fadly membagi rahasia bisnisnya.

Berkat kreativitas Fadly, Zap yang kini diawaki 100 karyawan mampu meraup omset hingga Rp 1 miliar/bulan. Targetnya, tahun ini dia harus bisa meraup 10 ribu kastemer per bulan, alias meningkat dua kali lipat dari jumlah tahun lalu.

Untuk mencapai target itu, sejumlah rencana sudah disiapkan. Di antaranya, ia tengah membuat aplikasi untuk Zap sehingga semua klien bisa booking melalui apps. Selain itu, ia menargetkan tahun ini semua pelayanan Zap ditangani dokter. “Untuk target jangka panjang, pada 2018 kami ingin buka 50 outlet di lima benua,” ungkapnya bersemangat.

Lina, salah seorang pelanggan loyal Zap yang ditemui SWA Online ketika tengah mengantre di gerai merangkap kantor pusat Zap di Rukan ITC Permata Hijau, mengaku tertarik menjajal Zap saat melihat jaminan permanent hair removal. “Saya tanya resepsionisnya, apa benar permanen dan berani dijamin. Mereka bilang, benar. Langsung saya coba,” tutur perempuan paruh baya yang mencoba layanan penghilang rambut kaki dan ketiak itu.

Hasilnya, sudah setengah tahun berlalu dan hingga kini Lina puas atas hasilnya. Ia pun kini telah mengambil paket layanan seumur hidup. Dengan begitu, ia gratis tak harus membayar lagi saat berkunjung. Saran Lina untuk Zap adalah menambah ruang layanannya sehingga pengunjung dadakantidak harus menunggu lama. “Kalau membuat appointment dulu, pasti dapat kamar. Tetapi, kalau dadakan, kadang-kadang pas penuh, akhirnya tidak dapat kamar,” ungkapnya. (***)

 

B O K S :

BIOGRAFI

Nama : Fadly Sahab

Lahir : 11 Agustus 1984

Pendidikan : S-1 Perencanaan Pembangunan Wilayah Universitas Gadjah Mada

Bisnis : Zap (penghilang rambut permanen), didirikan pada 2009

PENCAPAIAN

Memiliki sembilan gerai (lima gerai di Jakarta, selebihnya di Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya)

Meraih 5 ribu pelanggan per bulan

Meraup omset Rp 1 miliar per bulan

 

Destiwati Sitanggang dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Hana Bilqisthi

The post Bisnis Penghilang Rambut Ala Fadly Sahab appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Bisnis Wangi Angelinda dan Daniel

$
0
0
Angelinda Fransisca dan Daniel Tan

~~

Bagi pasangan Angelinda Fransisca dan Daniel Tan, sabun bukan semata pembersih tubuh yang memberikan sensasi wewangian. Dari sabun, pasangan ini juga meraup omset lebih dari Rp 200 juta per bulan. Dengan merek The Bath Soap Box, mereka menawarkan berbagai ragam sabun. Mulai dari sabun batangan, cair, sampai bentuk-bentuk unik seperti cup cake dan slice cake. Tak ayal, sabun besutan mereka kerap dijadikan cenderamata pernikahan. Produk sabun aneka bentuk ini mampu diproduksi 7.000 batang per bulan.

Di rumah orang tua mereka yang tidak terpakai, mereka memproduksi lebih dari 40 liter sabun per hari. “Kami bisa bekerja 15 jam per hari untuk produksi,” ungkap Daniel. Membidik pasar anak muda, harga produknya dibanderol mulai dari Rp 25 ribu sampai Rp 230 ribu. Belakangan, tak hanya sabun, mereka juga memproduksi masker wajah, lip balm, body butter dan sabun wajah.

Mengusung produk natural karena berbahan alami dan membuatnya secara handmade, mereka memilih memasarkan produknya lewat jagat maya, baik melalui situs web maupun media sosial. Selain mengandalkan produk yang unik, The Bath Soap mengandalkan testimoni para penggunanya sebagai ajang promosi. Mereka juga kerap mengikuti pameran, seperti Inacraft. “Kami juga pernah memiliki temporary store di Mal Gandaria City,” ujar Angelinda, perempuan kelahiran 1991, yang akrab disapa Linda.

Melakukan debut bisnis pada September 2013, sejak awal mereka fokus pada produk sabun dan perawatan tubuh. Dituturkan Daniel, awalnya mereka menjual produk kosmetik asal Korea Selatan. Saat menjadi reseller untuk produk-produk kosmetik asal Negeri Ginseng itu, mereka kerap mendapat masukan dari pelanggannya soal ketidakcocokan mereka karena bahan kimia yang terkandung dalam produk itu. “Lalu, Linda memiliki ide membuat sabun batang,” kata Daniel yang sempat merintis karier sebagai koki di Bali. Produk sabun batangan itu awalnya sekadar untuk dipakai sendiri. Namun, mereka memberikannya juga kepada keluarga dan teman-teman dekat. “Ternyata, mendapat feedback positif. Lalu, kami coba untuk jual,” kata pria berusia 24 tahun lulusan Perhotelan Universitas Bunda Mulia ini.

Karena sudah memiliki pelanggan, tak sulit bagi pasangan ini untuk menjual produk sabun besutannya. “Masalahnya satu, mengubah mereka yang biasa menggunakan bahan kimia menjadi pengguna produk natural,” ungkap Daniel.

Memang bukan hal mudah ketika pertama kali terjun memproduksi sabun sendiri. “Untuk membuat satu produk, kami bisa melakukan percobaan 3-5 kali, baru kami menemukan produk yang sesuai,” tutur Daniel. Ditambahkan Linda, mereka banyak mencari tahu cara pembuatan sabun. “Kami juga riset tentang bahan-bahan yang cocok untuk berbagai jenis kulit,” kata Linda, sarjana ekonomi lulusan Universitas Atma Jaya.

Untuk membedakan produk sabunnya, mereka membuat secara handmade. “Kami mencoba menjual sesuatu dalam bentuk yang berbeda. Seperti lotion, umumnya orang menggunakan dalam bentuk lotion, sedangkan yang kami buat bentuknya bar supaya tidak menggunakan pengawet,” kata Linda. Menurutnya, produk sabun dan perawatan tubuh natural sejatinya sudah berlimpah di pasar, hanya saja kebanyakan membidik segmen orang tua.

“Desain, tampilan, wewangian dan pengemasan yang mereka gunakan identik dengan orang tua. Sedangkan anak muda melihat sesuatu yang lebih modern, oleh karena itu kami melihat peluang,” ujar Daniel. “Tujuan kami membuat produk ini adalah untuk mengubah pikiran anak muda yang melihat produk natural impor lebih bagus, karena mereka melihat produk natural Indonesia itu kuno sekali. Kami ingin ada pemikiran, produk lokal yang natural itu menjadi produk yang anak muda sekali.”

Dengan segmen anak muda yang berciri dinamis, mereka pun bermain di kemasan dan wewangian yang mencerminkan jiwa muda. “Kami selalu memakai packaging hitam yang mencerminkan anak yang muda dan keras. Kedua, wanginya disesuaikan dengan wangi yang diinginkan anak muda,” tutur Daniel.

Ditambahkan Linda, awalnya, untuk memberikan sesuatu yang berbeda, produknya juga dibuat dalam aneka bentuk yang unik dan lucu yang bisa digunakan untuk cenderamata. Dalam perjalanannya, itu ternyata menjadi bumerang karena pelanggan sayang memakainya. Pengalaman ini memberikan pemahaman kepada mereka untuk membuat produk yang orang suka memakainya dan menimbulkan repeat order. “Saat ini kami lebih fokus membuat produk yang lebih friendly untuk dipakai,” katanya.

Mulanya mereka hanya bisa menjual 100-an batang per bulan. Mereka kemudian rajin mengikuti bazar mal-mal papan atas yang menjadi tempat kongko-kongko anak-anak muda. “Kami awalnya iseng dengan modal nekat. Tetapi, kami banyak mencoba dan banyak juga gagalnya. Kami yakin, semakin banyak kami gagal, kami jadi banyak belajar lagi,” tutur Linda.

Selain itu, dari sisi produk, mereka terus melakukan perbaikan. “Kami memang masih memiliki produk yang bentuknya lucu, tetapi tidak terlalu ekstrem. Hal inilah yang membuat mereka penasaran,” kata Daniel. Menurutnya, pemasaran yang paling jitu dari produk mereka adalah word of mouth. “Kebanyakan memang tahu dari mulut ke mulut,” ucapnya. Bahkan, para pelanggannya tanpa diminta mem-posting produk mereka di Instagram, Line, Path, dll. “Kami membiarkan semua berjalan alami,” ungkap Daniel.

Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, mereka menggandeng reseller yang saat ini sudah menyebar sampai ke Bali, Surabaya, Batam, selain di Jabodetabek. Dengan modal Rp 5 juta untuk membeli peralatan, saat ini omset The Bath Soap Box Rp 200 juta lebih per bulan. “Ketika pelanggan happy setelah menggunakan produk kami, di situlah kepuasan kami, sebuah kebahagiaan kecil,” kata Daniel. Ia mengakui masih memiliki kekurangan dalam hal pengembangan produk. Terlebih, SDM yang dimiliki juga masih sangat terbatas. Mereka hanya dibantu empat orang staf.

Ke depan, Daniel dan Linda berencana melebarkan sayap dengan membuat payung hukum untuk usahanya. “Kami sudah mendapat investor dan akan buat PT, juga memiliki kantor,” kata Daniel. Usahanya akan dikembangkan sebagai personal care online. Mereka juga akan mengembangkan produk dengan membuat masker yang fresh setiap hari tertentu sehingga produk tersebut hanya ada pada hari tersebut. “Pelanggan kami menyukai produk yang fresh, maka kami melihat peluang untuk membuat produk yang fresh,” katanya.

Bagi Kania Andriny, salah satu reseller The Bath Soap Box, dari sisi harga dan kemasan, The Bath Soap Box sudah bagus. “Kalau saya lebih ke BPOM-nya saja karena kalau memang ingin dapat market yang lebih besar, orang akan lebih peka melihat itu,” kata Kania yang mengenal The Bath Soap Box dari timeline temannya yang berprofesi dokter. Setelah mencoba sendiri, ternyata ia terpincut pada rangkaian produk The Bath Soap Box. “Karena saya hobinya ngomong, akhirnya saya ngomong ke teman-teman saya. Karena yang ngomong seperti itu saya yang biasa mengulik banyak produk, mereka percaya dan memesan produk The Bath Soap Box. Saya lalu pesan ke teman saya yang dokter itu dalam jumlah banyak. Kemudian, terpikir untuk jual sendiri, akhirnya menjadi reseller,” kata Kania yang berkarier sebagai Manajer Pengembangan Bisnis PT Dalle Energy.

Hanya dengan modal Whatsapp, dalam seminggu Kania bisa menjual 50-100 botol. “Itu benar-benar hanya dari mulut ke mulut, ke teman-teman saja,” kata Kania yang sejak Juli tahun lalu menjadi reseller The Bath Soap Box. Sempat saat ia bed rest, ia mampu menjual sampai 200-300 botol dalam seminggu. Saat ini, diakuinya, keuntungan yang diraihnya mencapai Rp 10-15 juta per bulan.(*)

Henni T. Soelaeman dan Destiwati Sitanggang

The post Bisnis Wangi Angelinda dan Daniel appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Ambisi Saira “Menjual” Merek Lokal

$
0
0
Saira Nisar

Saira Nisar, Pendiri Aara The Trademark Market dan The Taste Market

Peluang bisnis di industri kreatif sangat prospektif yang nilai pasarnya mencapai triliunan rupiah. Kamar Dagang dan Industri Indonesia memproyeksikan pasar industri kreatif nasional pada 2015 mencapai Rp 900 triliun, atau tumbuh 28,5% dibanding tahun 2014 (Rp 700 triliun). Tak heran, pemerintah membentuk Badan Ekonomi Kreatif guna mendorong industri ini.

Salah satu episentrum industri kreatif nasional berada di Bandung, Jawa Barat. Saira Nisar adalah salah satu penikmat fashionyang mampu menangkap peluang bisnis kreatif di Bandung. Ia adalah pendiri acara The Trademark Market dan The Taste Market.

Kedua acara tersebut rutin diselenggarakan olehnya di Mal Paris van Java (PVJ), Bandung. Pesertanya meliputi produsenfashion dan kuliner lokal. Ini upaya Saira untuk menggali potensi merek lokal melalui serangkaian acara yang digagasnya itu.

Meski tidak punya pengalaman mengelola bisnis EO, Saira sangat percaya diri ketika mengajukan proposal dan mempresentasikannya ke pengelola PVJ pada November 2010. Mal PVJ dipilih Saira karena luas lokasinya dinilai ideal untuk menampung ratusan tenant di areal seluas 1.300 m2. Ia mengusulkan jadwal acaranya 10-13 Februari 2011.

“Ketika mengajukan ide itu, saya sendirian karena belum punya tim dan tidak punya pengalaman menjadi EO. Makanya, saya kaget sekali ketika ide itu disetujui oleh pemilik PVJ,” ia mengungkapkan.

Tak dinyana, acara yang digelar selama empat hari itu dikunjungi 50 ribu orang, meski Saira tidak jorjoran mempromosikannya. “Saya dan pemilik PVJ juga takjub,” ucap perempuan kelahiran Tasikmalaya, 8 April 1985 ini. Trademark Market edisi perdana itu diklaim sebagai pameran merek fashion lokal terbesar yang pertama kali diselenggarakan di Bandung.

Sejak saat itu, animo peserta dan pengunjung semakin tinggi. Tahun 2014, misalnya, Saira menyediakan lahan seluas 2.500 m2 untuk 125 booth fashion dan 12 booth kuliner di PVJ. Pengunjungnya meluber hingga 70 ribu orang. Peserta senang lantaran meraih untung karena dagangannya laris manis.

Saira tidak memungut biaya dari hasil penjualan para peserta Trademark Market. Untuk memudahkan peserta menjual produknya, Saira menyediakan booth untuk disewakan ke peserta acara. Tarif sewanya dibanderol Rp 5-8 juta per unit untuk booth seluas 2 x 3 meter dan 3 x 3 meter. Jika biaya sewa per booth dikalikan 100 penyewa saja, Saira sudah bisa meraup duit Rp 500-800 juta.

Jika Trademark Market digelar dua kali dalam setahun, omset Saira berkisar Rp 1-1,6 miliar dari hasil sewa booth saja. Itu belum menghitung pendapatan dari kerja sama sponsor dan kontrak eksklusif dengan pengusung merek lokal.

Alumni LaSalle College International Jakarta ini menuturkan,Trademark Market tak hanya berdampak positif bagi pemilik merek fashion lokal, tetapi juga mendorong pertumbuhan industri kreatif di Bandung. Trademark Market rutin digelar dua kali dalam setahun. Hingga saat ini, Saira sudah mengadakannya sebanyak 6 kali. Kegiatan ini adalah satu-satunya acara yang mengusung merek fashion lokal dengan konsep tematis.

Setelah menuai reputasi di dalam negeri, Saira menargetkan Trademark Market bisa menarik minat buyer dariluar negeri. “Saya ingin merek-merek lokal Bandung mendunia,” ucap wanita yang bercita-cita menjadi perancang busana ini. Untuk menjaga kualitas acaranya, Saira sangat selektif menyaring pesertanya.

Saira mengklaim, acaranya sudah dikenal oleh warga Singapura dan Malaysia. “Rute penerbangan Air Asia dari Singapura dan Malaysia sudah ada yang langsung ke Bandung. Mereka banyak yang memesan tiket pesawat ke Bandung hanya untuk datang ke acara saya,” ujarnya dengan nada bangga.

Selanjutnya, istri Irsan Ahsen Servia ini memperluas gagasannya dengan menggelar acara kuliner dan seni bertajuk The Taste Market. Ini adalah pameran kuliner khas Sunda dan kontemporer yang dikombinasikan dengan acara seni, desain produk dan interior. Sederet band dan disc jockey menyemarakkan hajatan yang untuk pertama kalinya digelar pada Desember 2013 ini. Taste Market diadakan hanya sekali dalam setahun. Saira berharap Trademark Market dan Taste Market menjadi agenda tahunan di Bandung. Ia ingin mengadakan acara yang lebih besar lagi, menempati area yang lebih luas dibanding acara sebelumnya.

Mengapresiasi kiprah Saira tersebut, Yoris Sebastian, pengamat industri kreatif, mengusulkan Saira Nisar agar mengembangkan kualitas caranya dan terus mencari peserta baru yang potensial. Jadi, Trademark Marketdan Taste Market tak sekadar sebagai platform acara kreatif untuk mengejar nilai penjualan, melainkan bisa pula menghasilkan produk yang inovatif.

Ke depan, Yoris berharap Trademark Market bisa menjadi acara kreatif yang mampu menghasilkan suatu produk. “Contohnya Leonard Theosabrata membuat Indoestri Day yang bisa menjadi tempat untuk belajar produk-produk,” kata Yoris. Ia menyarankan Saira mengembangkan konsep Taste Market dengan mengajak peserta yang produknya dikenal keren melalui pendekatan kurasi.

Reportase: Herning Banirestu

Riset: Sarah Ratna

The post Ambisi Saira “Menjual” Merek Lokal appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Duo Kakak-Adik Peraup Untung di YouTube

$
0
0
Diwantara Anugrah Putra & Gema Cita Andika

Diwantara Anugrah Putra & Gema Cita Andika

Diwantara Anugrah Putra bersama adiknya, Gema Cita Andika, mendirikan kanal Tara Arts Movie di YouTube sejak tahun 2010. Materi yang diunggah duo kakak-adik ini mengenai film atau video tutorial. Mereka digaet YouTube dan menerima penghasilan hingga 8 digit dari video yang diunggah di kanalnya itu.

Mereka belajar otodidak dengan menggunakan peralatan sederhana saat awal memproduksi filmnya. Video tutorial ataupun film parodinya sering kali mengundang senyum para penontonnya. Kreasi mereka patut diberi acungan jempol. Sebab, pengunjung kanalnya menembus jutaan orang. Perusahaan-perusahaan tak sungkan mengiklankan produknya di Tara Arts Movie.

Tara, demikian sapaan Diwantara, meraup untung dari iklan yang tayang di kanalnya itu. “Perhitungannya berdasarkan view-nya, semakin banyak video ditonton, maka semakin banyak penghasilannya. Lalu, ada iklan juga. Untuk total pendapatannya, kami tidak bisa menyebutkan karena terikat perjanjian dengan Google,” tutur Tara.

Ia menyebutkan awalnya meraih pendapatan sekitar US$ 25 saja. “Tapi sekarang sudah naik menjadi 8 digit dan angkanya naik terus,” ia menambahkan. Selain itu, Tara mengklaim mendapat penghasilan yang lumayan lantaran mempromosikan Smash, serial drama musikal di NBC Amerika Serikat yang diproduseri Steven Spielberg. “Spielberg mungkin tertarik untuk meng-endorse kami, karena kami sering membuat film yang ada dinosaurusnya,” ungkap Tara, tanpa menyebutkan nilai nominalnya. Salah satu film parodi buatannya berjudul Jurasic World Parody.

Menurutnya, Tara Arts Movie adalah kanal film parodi dan video tutorial. Film pertamanya yang berjudul Bearminator yang dibikinnya dengan kamera foto berkualitas rendah. Para aktornya adalah Gema dan sepupunya. Untuk lokasi syuting, mereka tak perlu merogoh kocek dalam-dalam karena dilakukan di daerah sekitar rumahnya di Perumahan Japos, Ciledug.

Guna mempercantik filmnya, Tara dan Gema menyunting efek khusus dengan menggunakan peranti lunak After Effects dan Windows Movie Maker. Durasi film dan video di Tara Arts Movie rata-rata 1-3 menit. Setelah penyuntingan rampung, mereka mengunggahnya di YouTube dan jumlah pengunjung (viewer) kanalnya lumayan banyak. Keahlian mereka itu acap kali digunakan perusahaan untuk membuat video profil perusahaan.

Mereka cerdik menggunakan keuntungannya dengan membeli modal kerja, seperti membeli kamera baru. Video unik dan kreatif mereka itu mampu membuat sejumlah pihak tercengang. Contohnya saja, ketika mereka menyertakan filmnya yang diberi judul Bridge to Dinosauria di lomba Good Day Schoolicious Movie Competition pada 2011. Film itu dibuat hanya dengan kamera saku. Namun, film itu bisa lolos ke babak 20 besar dari 361 film yang diperlombakan. Selanjutnya, dewan juri memilih film besutan duo kakak-adik ini sebagai kampiun di perlombaan tersebut. “Kami tidak menyangka, kami menjadi juara satu,” kata Tara mengenang.

Sebulan kemudian, Tara dihubungi David Spates, perwakilan YouTube yang menawari Tara Arts Movie sebagai mitranya di Indonesia. Tawaran itu, buat mereka, seperti kejatuhan durian runtuh. Tanpa berpikir dua kali, mereka menyambarnya dan menjadi mitra YouTube yang pertama di Indonesia. “Akhirnya, kami memutuskan untuk bergabung,” ucapnyadengan nada bangga.

Kini, pria kelahiran Jakarta 25 Desember 1989 ini mengatakan, ia membuat 6 kanal video, yaitu Tara Arts Movie, Tara Arts Game, Tara Arts Game Indonesia, Tara Arts Network, Tara Arts Music, dan Tara Magic. “Setelah filmnya di-upload, keesokan harinya kami meng-upload video tutorial cara membuat filmnya,” tutur Tara.

Gema menambahkan, dirinya membuat dua kanal, yaitu Gema Show dan Gema Show Indonesia. Gema Show berbahasa Inggris. Tara rutin mengunggah videonya setiap hari, semingu dan sebulan sekali bergantung pada tingkat kesulitannya.

Niken Sistha Sasmaya, Manajer Partner YouTube untuk Asia Tenggara, mengatakan, konten Tara Arts Movie tergolong unik. “Biasanya masyarakat beranggapan video-video di YouTube itu kontennya komedi, film pendek, atau musik, jarang ada yang membuat video tutorial dan efek visual tutorial. Karenanya, Tara Arts Movie itu berbeda dan unik,” ungkap Niken.

Tara menuturkan, jumlah pendaftar di 6 kanalnya hingga 18 Maret 2015 sejumlah 1.183-96.623 subscriber. Kesibukan Tara dengan profesinya ini membuat dirinya hanya bisa mencicipi kuliah di Universitas Negeri Jakarta Jurusan Seni Rupa hingga satu semester saja. Kini, Tara dan adiknya sebagai pengusaha kreatif yang dikenal hingga ke mancanegara. “Kami sering diminta mengedit film untuk menambahkan after effect-nya. Juga ditawari kerja di Yunani, Swiss dan Hollywood,” ia menguraikan. Dari dalam negeri, mereka kerap ditawari membuat iklan. Tarif yang dibanderolnya sekitar Rp 50 juta.

Menurut Niken, keahlian mereka itu bukan dari pendidikan formal/nonformal, melainkan belajar otodidak dari YouTube. “Keren banget. Dan mereka punya green screen sendiri di rumahnya,” katanya. Niken menyarankan Tara untuk memperbanyak kontennya dan mengatur kanalnya semakin rapi.

Tara pun memang punya rencana untuk memperbaiki kontennya dan meningkatkan keterampilan efek visualnya. Ke depan, Tara bercita-cita memproduksi film layar lebar. Sementara Gema ingin mengembangkan game buatannya sendiri. “Saya juga punya rencana membuat game untuk Android,” ujar Tara.

Vicky Rachman & Maria Hudaibyah Azzahra

Riset: Gustyanita Pratiwi

The post Duo Kakak-Adik Peraup Untung di YouTube appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Farizan Firdaus: Pilih Jadi “Kepala Kucing” ketimbang “Buntut Harimau”

$
0
0
Farizan Firdaus

Farizan Firdaus, Direktur Pengelola Maya-Ad

Warga Jakarta pasti mengenal nama Mayasari Bakti, bus kota yang menjelajahi setiap sudut Kota Jakarta, hingga ke Tangerang, Bekasi dan Depok. Ya, Mayasari memang “raja jalanan” di Jakarta dengan armadanya yang mencapai ribuan. Ade Ruhyana Mahpud, sang pemilik Mayasari, memiliki empat anak yang sudah menjalankan bisnis masing-masing. Bisnisnya tidak jauh dari otomotif. Anak pertama di bisnis logistik, yang kedua di dealer dan karoseri, anak ketiga, Farizan Firdaus, mengelola Maya-Ad, dan anak keempat “main” di bus pariwisata. “Dari saudara saya yang lain, cuma saya yang tidak main di otomotif,” ujar Farizan, Direktur Pengelola Maya-Ad.

Lulusan Teknik Industri Universitas Indonesia (2010) dan S-2 Prasetiya Mulya (2014) ini pernah diterjunkan oleh ayahnya untuk bergabung dengan PT Chemko Harapan Nusantara. Setelah tiga bulan, Farizan merasa jiwa kewirausahaannya tidak akan berkembang karena perusahaan itu sudah besar. “Istilahnya, dibiarkan saja, perusahaan itu akan jalan sendiri. Saya tidak bisa berkontribusi terlalu banyak di situ. Saya lebih memilih perusahaan kecil saja, artinya lebih baik jadi ‘kepala kucing’ daripada ‘buntut harimau’,” tutur Farizan.

Akhirnya, Farizan memilih bergabung dengan Maya-Ad, perusahaan yang bergerak di bisnis outdoor advertising. Mula-mula Farizan memasang iklan di badan bus Mayasari, kemudian merambah ke bus Transjakarta, dan belakangan masuk ke billboard.

Meski awalnya memasang iklan di badan bus Mayasari, Farizan bertindak secara profesional. Ia mengajukan proposal untuk pemasangan iklan itu kepada ayahnya dan menyewa space di badan bus. Pertumbuhan bisnisnya rata-rat 20% per tahun. Pada 2011, Farizan merasa supply dan demand sudah tidak seimbang. Demand-nya terlalu banyak, tapi supply-nya sudah mulai terbatas,” ungkapnya. Karena itu, pada 2011 Maya-Ad masuk ke busway, kemudian ke Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway Transjakarta.

Farizan sempat menyatakan kepada para manajernya, bahwa Maya-Ad sudah tidak bisa mengandalkan pasang iklan di badan bus. Harus berani coba ke yang lain. “Di tahun 2011 saya main di billboard, bisa dibilang telat dibanding pemain yang lain,” tutur Farizan.

Waktu menggarap iklan di badan bus tidak ada investasi, tetapi sewa space. Sementara di billboard harus investasi, mengurus izin, dan lain-lainnya. “Sampai sekarang saya sudah punya billboard sekitar 20 titik, yang sebagian besar berlokasi di Jawa Barat,” Farizan menambahkan.

Klien pertama Maya-Ad di billboard adalah operator telepon seluler, produsen rokok, dan produsen fast moving consumer goods. Klien iklan di badan bus berbeda dengan di billboard..

Ke depan, Maya-Ad akan mulai beralih ke digital. “Pertumbuhan paling besar sekarang ini ada di industri digital,” ia menerangkan. Karena itu, Maya-Ad pun mulai mengganti dari billboard konvensional ke billboard LED, yang sudah mulai ada teknologi informasinya. “Ke depan, Maya-Ad ini, saya akan main ke digital, hanya saja yang konvensional tetap tidak dilepas,” Farizan menegaskan.

Dalam menjalankan bisnis, Farizan selalu memegang wejangan orang tuanya tentang kejujuran. “Pesan yang selalu ayah saya sampaikan adalah kejujuran. Dia selalu bilang bahwa kejujuran itu yang harus selalu dijaga. Seberepa besar aset yang dimiliki, kalau mau minjem ke bank walau hanya Rp 1 juta tapi kalau sudah tidak dipercaya, tetap tidak akan diterima. Sebaliknya, meskipun tidak punya aset dan mau meminjam sampai ratusan juta, kalau bank sudah percaya pasti akan diberikan,” tutur Farizan.

Sang ayah, Ade Ruhyana Mahpud, menilai langkah bisnis yang dilakukan Farizan sudah sesuai dengan ekspektasinya. “Sampai sekarang masih on the right track, dalam artian masih sesuai dengan yang saya harapkan. Dari sisi pengembangan, dia tertata dan terukur. Ke depan, saya kira juga masih bisa berkembang,” ucap Ade.

Kepada anak-anaknya yang terjun ke bisnis, Ade selalu menekankan untuk bekerja keras, fokus, dan jujur. “Itu yang menurut saya paling penting,” ia menggarisbawahi.

Didin Abidin Masud dan Dadi A. Salim

The post Farizan Firdaus: Pilih Jadi “Kepala Kucing” ketimbang “Buntut Harimau” appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Sejoli Orbitkan Tas Kulit

$
0
0
Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina

Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina

Mengamati kebiasaan keseharian sang ayah, rupanya bisa menjadi inspirasi bisnis. Terkadang dengan melihat kebiasaan orang yang ada di rumah, bisa memancing ide untuk memulai bisnis tertentu yang memang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal itu pula dialami pasangan muda, Anwar Syafrani dan Gina Adityalugina, yang kini mengorbitkan bisnis tas kulit, dengan merek Gammara. Ide bisnis produksi tas kulit ini dimulai karena Gina sering mengamati ayahnya yang biasa menggunakan tas kulit yang ternyata bagus dan tahan lama. Bahkan Gina pun sering meminjam tas ayahnya.

Dari titik tersebut pasangan yang tinggal di Bandung ini terpikir untuk berbisnis tak kulit karena melihat ada pasarnya. Mereka memulainya dengan iseng, dengan membeli tas kulit custom tanpa merek yang sudah jadi, lalu Gina bersama suaminya, Anwar, menjual tas-tas kulit tersebut. Ternyata sambutan kawan-kawannya sangat bagus, sehingga mereka berkesimpulan bahwa tas kulit memiliki banyak peminat.

Pasangan ini lalu aktif berjualan tas kulit meski tanpa merek dengan cara membeli tas kulit jadi dari pihak lain. Tepatnyasejak 2010. Baru setahun berselang, mereka akhirnya memutuskan mencari tempat untuk memproduksi sendiri, dan sejak itu pula dipakailah merek Gammara. “Gammara itu bahasa Makassar, artinya bagus, kata Gina.

Pada tahun pertama, pasangan ini banyak belajar tentang proses, pasar dan bahan baku kulit. “Awalnya kami hanya tahu kulit itu ya hanya kulit saja. Belum tahu bagaimana kulit yang bagus, karakter masing-masing jenis kulit, kualitas benang, cara menjahit, sistem penyamakan, dan sebagainya. Sama-sama kulit asli, harganya bisa jauh berbeda karena kualitasnya juga berbeda,” papar Anwar. Hingga saat ini, bahan baku kulit yang dipakai Gammara 90% dari kulit sapi, sisanya kulit kerbau dan kulit domba. Adapun bahan baku kulit dibeli dari Surabaya, Tangerang dan Jakarta, sedangkan sebagian dari pemasok Australia dan Italia.

Dari sisi pemasaran, produk tas kulit Gammara punya positioning lebih kasual, menggarap pasar orang tua ataupun anak muda. Dari sisi harga, dua sejoli ini menawarkan 30%-40% lebih murah dari produk tas kulit branded. Rentang harga produknyaRp 600 ribu2,25 juta. “Harga kami dibawah branded karena biaya advertising mereka lebih tinggi. Dari bahan baku dan kualitas kulit, sama bagusnya,” kata Gina meyakinkan. Untuk mengenalkan produknya, Gina dan Anwar aktif mengikuti pameran. Misalnya ikut pameran yang digalang Disperindag Kota Bandung, lalu Inacraft, Krafina, Indonesian Fashion Week, Gelar Sepatu Fashion, serta biasa mengikuti program bazar yang digalang anak muda seperti Trademark.

Saat ini pasar Gammara sudah masuk ke kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Surabaya, Kalimantan, Pontianak, Pekanbaru, Makassar, Lombok, dan bahkan sudah menembus ke luar negeri, seperti

Norwegia, Hungaria, Prancis dan Australia. Pembeli Eropa merupakan end user atau pembeli individu, bukan perusahaan ritel. “Banyak perusahaan ritel yang menawari kami sebagai pemasok. Bahkan seorang pemilik merek top dunia ada yang minta produksi disini. Tapi kami belum layani karena mintanya kapasitas bulanan 500 tas, dan berani ambil kontrak dua tahun. Kami putuskan belum kesana, kembangkan pasar sendiri dulu,” Gina menuturkan.

Bermula dari modal Rp 1 juta, kini Gammara bisa menghabiskan 1.000 feet bahan baku kulit tiap bulannya. Pemesanan berkisar 100-200 tas per bulan dan kebanyakan pembeli tas pria. “Sekarang kami lagi coba bikin produk second line yang harganya tidak sampai Rp 1 juta. Rencananya juga mau buka gerai sendiri, langsung bersandingan dengan merek terkenal agar ada komparasi. Para pengelola mal online juga sudah mulai aktif menghubungi Gina agar bisa menjualkan barangnya,” Anwar memaparkan. Sambutan pasar tampaknya memacu sejoli ini untuk semakin agresif melebarkan pasarnya.

Ferdi Julias Chandra dan Sudarmadi

Riset: Hana Bilqisthi

The post Sejoli Orbitkan Tas Kulit appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Aras Darmawan, Moncer sebagai Motion Graphic Designer di New York

$
0
0

Ribuan mil dari tanah kelahirannya, Aras Darmawan mengguratkan tinta emas sebagai motion graphic designer yang dipercaya sejumlah merek dunia. ESPN, Mercedes-Benz, Nickelodeon, Nike, MTV, TNT, Samsung, Philips, Google, Showtime Networks, Verizon, Xerox, Honda, Audi, Lacoste, American Express, TBS, CocaCola, Heineken dan Red Bull adalah sejumlah merek yang menggunakan jasa Aras sebagai desainer grafis bergerak. Kelahiran 1986 ini memang sejak 2011 meramaikan jagat industri rumah produksi, stasiun TV kabel, dan perusahaan periklanan di New York.

Karyanya juga banyak diganjar penghargaan. Sebut saja, Total Package Art Direction & Design: Program-On-Air (Gold), Art Direction & Design: Program Bumper (Gold), dan Entertainment Program Campaign (Gold), semuanya dari Dexter Campaign/Finale Promo Packaging done at Showtime Network.

Aras-Darmawan“Setelah lulus dan selesai magang, saya kerja full time selama setahun di salah satu production house di Belanda, kemudian mencoba berkarier di Indonesia. Setelah setahun, saya memutuskan mencari pengalaman di Amerika hingga saat ini saya tinggal dan bekerja di New York City,” ungkap Aras kepada SWA via surat elektronik. Lewat bendera Flickafreak yang dibesutnya, ia berkibar sebagai desainer grafis bergerak yang moncer di ranah industri periklanan dunia.

Menyelesaikan S-1 Seni/Desain Komunikasi Visual dari Saxion Hogescholen, Belanda, pada 2008, Aras memulai kariernya menjadi motion designer di Post Panic pada 2009 dan berlanjut di Tronic pada 2010 – keduanya di Belanda. Menurut dia, motion design, intinya merupakan segala bentuk dan form grafis yang bergerak, entah itu ilustrasi, tipografi, foto, video, 3D, atau yang lain. Perbedaannya dengan animasi terlihat dari monografnya yang lebih berbasis ke root desain grafis. Yang membuat unik, motion design mengambil unsur-unsur dari film, musik dan animasi itu sendiri. Pasar yang dibidik adalah industri yang menyangkut desain grafis bergerak, baik periklanan, online/digital, broadcasting atau televisi, hingga dunia film.

“Klien saya mulai dari production house, stasiun TV/kabel, hingga biro iklan,” kata Aras. Ia mengaku tidak tahu apa yang menjadi keunikan karyanya sehingga dipercaya sejumlah klien kakap. “Saya kurang tahu apa uniknya. Tetapi menurut klien-klien dan kerabat, desain saya beda karena terlihat hi-end dan premium. Secara teknis, saya suka memadukan unsur grafis tiga dimensi dan foto realisme ke dunia desain grafis yang dominan flat/dua dimensi, sehingga itu mungkin yang membuat jadi beda,” paparnya.

Bicara soal tarif, ia mengaku sangat relatif. Bergantung pada waktu atau durasi pengerjaan, brief, dan kebebasan kreatif yang dimiliki. “Sebagai gambaran, request konsep – design saja tanpa direction – iklan TV, tarifnya berkisar US$ 600-780 per hari,” kata Aras yang pada 12 Februari lalu meluncurkan buku bertajuk Asian Creative.

Menurut dia, sebagai motion designer, bisa berkiprah di AS merupakan kesempatan luar biasa. Pasalnya, ia bisa bersaing dan bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki level bisa membuat dirinya progresif, meskipun stres dan tekanan deadline-nya tinggi.

Saat ini ia lumayan sibuk. “Kalau ada lebih dari satu project berjalan bersamaan, biasanya jadi sulit, namun masih tetap terkontrol dan so far so good selama lima tahun terakhir,” ungkapnya. Menurutnya, tantangannya memang lebih pada soal waktu. “Dalam pekerjaan desain, waktu yang lebih banyak selalu membuat karya menjadi lebih baik. Namun susahnya, kalau waktu dibikin lama, bujet pun seharusnya ikut meningkat dan terkadang klien tidak memahami hal tersebut. Kedua, lebih ke pribadi, misalnya membagi waktu antara kerja dan istirahat atau untuk teman, pacar ataupun keluarga,” paparnya.

Menurutnya, di New York dan terutama untuk bidang periklanan dan motion graphic, jam kerja bisa dibilang cukup gila. “Orang-orang sini cenderung sangat workaholic, namun saya berusaha tidak terbawa. Saya suka bekerja di bidang ini dan saya pekerja keras namun saya juga realistis, tidak sampai harus mengorbankan kesehatan atau waktu saya untuk orang-orang terpenting buat saya,” ungkapnya.

Bagi Aras, untuk mendapat pengakuan dan exposure internasional, seorang profesional atau dalam hal ini dirinya sebagai motion designer wajib memiliki kebanggaan atas bidang dan pekerjaan yang ditekuni. “Sedikit arogan bolehlah… Tetapi, terus jangan lupa, remains humble no matter what recognitions you have achieved. Jangan menunggu orang buat tahu kita atau kontak kita untuk kerja bareng, instead bicara langsung sama mereka, ajak kolaborasi, dll. Pokoknya, keep yourself open with anything,” tuturnya seperti dikutip dari obrolannya dengan sahabatnya via Yahoo Messenger. Di matanya, potensi motion designer di Indonesia cukup bagus dan banyak juga karya motion designer Indonesia yang bisa dibilang sudah masuk skala internasional. “Hanya mereka kadang either too humble, atau memang tidak tahu how to tell the world saja mungkin,” ungkapnya.

Dalam 1-2 tahun ke depan, ia berencana membuka usaha dengan teman dekatnya. “Mungkin kami akan mencoba melirik industri baru, seperti dunia musik dan interaktif,” katanya. Berkaitan dengan rencana tersebut, ada kemungkinan ia akan tetap berkiprah di New York atau pulang ke Indonesia. “Memiliki kantor studio di Bali yang bisa saya pakai untuk liburan sambil kerja proyek-proyek artistik,” imbuhnya.

Untuk mengasah kompetensi dan wawasan, Aras kerap berkolaborasi. “Berkolaborasi dengan orang-orang yang saya respek serta terus mencari tantangan, misal dengan mengerjakan sesuatu yang belum pernah saya kerjakan sebelumnya atau mencoba pitching ke industri selain periklanan,” ungkap Aras yang menyukai desainer Makoto Shinkai, Chris Cunningham, Tsugumi Ohba dan Shiina Ringo.

Selain yang disebutkan di atas, karya-karya Aras yang memukau dunia motion design antara lain FF11 Intro (SELF. Design, Direction, 3D, Motion), Nike Seitiro (HELLOSAVANTS. 3D Direction, Motion), Nike Cortez (POSTPANIC. Design, 3D, Motion), MTV Shapeshifting (SELF. Design, Direction, 3D, Motion), Asics Running (POSTPANIC. Design, Compositing), O’Neill NavJacket (ONESIZE. Design, 3D, Motion), Apple Visualizer (TRONIC. Design, Direction, Motion), dan Photoshop SWP (SELF. Design, Direction, 3D, Motion).***

Henni T. Soelaeman dan Istihanah

The post Aras Darmawan, Moncer sebagai Motion Graphic Designer di New York appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Ryan Kharisma Danoko, Karya Desain Grafisnya Mendunia

$
0
0
Ryan Kharisma Danoko

Ryan Kharisma Danoko

Satu lagi talenta muda berbakat asal Indonesia di bidang desain grafis. Namanya Ryan Kharisma Danoko. Kepiawaian Ryan di bidang desain grafis rasanya tak pantas diragukan. Selain telah mengantongi sejumlah penghargaan, karya desain grafis Ryan pun telah digunakan banyak perusahaan, baik lokal maupun mancanegara.

“Desain adalah salah satu kunci sukses sebuah bisnis,” ujar pria kelahiran 16 Februari 1987 ini. “Desain adalah salah satu cara untuk membedakan produk atau jasa kami dari kompetitor,” ia menambahkan.

Bagi Ryan, itu bukan sekadar filosofi bisnis. Sebab, itulah yang dikomunikasikan Ryan untuk meyakinkan calon kliennya. Logikanya, jika ada dua produk dengan harga, rasa dan kemasan yang sama mempunyai peluang yang sama untuk dibeli oleh konsumen, maka besar kemungkinan produk yang mempunyai desain, warna, dan grafis yang menariklah yang akan lebih laku terjual. “Saya selalu mengomunikasikan kepada klien bahwa desainer adalah mitra agar bisa menghasilkan (produk) yang terbaik untuk bisnis,” ucap Ryan.

Sejak masih di bangku SMA, Ryan telah memiliki kegemaran mendesain foto dengan aplikasi Photoshop. Bakatnya di bidang desain ini diakui teman-teman sekolahnya. Maka, Ryan pun mulai menawarkan jasa desain, semisal untuk undangan acara sweet seventeen, desain T-shirt untuk kalangan distro, hingga kebutuhan event organizer.

Untuk mengarahkan hobinya dan memperkuat kompetensinya, Ryan melanjutkan kuliah di Imago School of Modern Advertising, sekolah khusus desain dan periklanan di Tanah Air. Ia juga mengambil kuliah lanjutan di Jurusan Desain Multimedia First Media Design School, Singapura. Setelah menyelesaikan kuliah, Ryan sempat mengajar desain di SMA Penabur International. Ia pun sempat menjadi eksekutif di First Media Design School, dan Art Director di Sponge Inc. Pada akhir 2012, Ryan memutuskan mengembangkan usaha sendiri di bidang desain grafis, dengan mendirikan RKharisma Design (www.ryankharisma.com).

Bermula dari referensi almamaternya yang merekomendasikan beberapa pengusaha yang membutuhkan jasa design branding, nama Ryan sebagai desainer grafis andal, makin dikenal. Setelah itu, sejumlah perusahaan dan instansi, baik lokal maupun mancanegara, menggunakan jasa desain grafis Ryan. Di antaranya ada Makarim & Taira Law Firm, Bank Victoria, Plaza Balikpapan, Toyota Auto2000, dan masih banyak lagi. Sementara kliennya dari mancanegara, antara lain Snogurt (Malaysia), UNICEF (Hong Kong), Hair Beauty Lounge dan SSEAYP (Jepang), Arizona State University, Runway 21 Studio (Amerika Serikat), Adrianne Schäffer (Italia), dan Matsyana (Kanada).

Pria yang sedang mengambil kuliah lagi di Jurusan Logistik dan Manajemen Rantai Pasokan Hogeschool Van Arnhem en Nijmegen, Belanda ini mengklaim karya desain grafisnya memiliki keunikan personal touch dibanding desainer lain. Menurutnya hal ini dipengaruhi oleh berbagai kultur. “Saya menerapkan pengalaman dan pengaruh dari berbagai budaya, sehingga menjadi ciri khas karya desain grafis saya,” ungkap Ryan. “Saya juga harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan klien,” tambahnya.

Selain itu, peraih Bronze Award di acara The One Show South and South East Asia ini juga senantiasa melakukan riset prerequisite. Tujuannya mengidentifikasi permasalahan, mencari solusi dan strategi yang sesuai dengan kebutuhan klien. “Saya selalu memperlakukan klien sebagai tim dalam proses desain. Metode inilah yang selalu dicari oleh klien, karena mereka ingin terlibat langsung dalam setiap keputusan yang diambil as a team,” ujar Ryan.

Kepiawaian Ryan di bidang desain grafis diakui salah satu kliennya Scott Abrams, Direktur ProgramGreenwill, Hongaria. Menurut Abrams, perusahaannya sudah tiga bulan bekerja sama dengan Ryan untuk mengerjakan beberapa proyek desain grafis. “Sebelumnya kami sudah pernah bekerja sama dengan desainer lain, tetapi tidak ada yang bekerja cepat, kreatif atau memiliki sikap seperti yang Ryan berikan. Sangat menyenangkan bekerja sama dan mendapatkan hasil yang sangat baik dan cepat,” ujar Abrams.

Tak hanya melakukan riset, Ryan juga terus melakukan update pengetahuan. Antara lain melalui cara browsing di Internet,mengunjungi pameran, hingga terjun langsung ke sektor industri untuk mengamati pesaing atau calon klien. “Ke depan, saya mau mengombinasikan dua latar belakang pendidikan, yaitu desain dan logistik,” ujar Ryan. (*)

A. Mohammad B.S. & Istihanah

Riset: Armiadi Murdiansyah

The post Ryan Kharisma Danoko, Karya Desain Grafisnya Mendunia appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Ananto Wibisono Mantap Menjadi Entrepreneur

$
0
0

Sempat wara-wiri di perusahaan-perusahaan yang berbasis e-commerce, Ananto Wibisono kini memilih untuk mendirikan usahanya sendiri. Dengan mengusung bendera Sepulsa, pria kelahiran 8 Mei 1981 ini rela melepaskan karier profesionalnya.

Ananto Wibisono, Founder of Sepulsa

Ananto Wibisono, Founder of Sepulsa

Walau harus meniti dari nol, lulusan dari bidang Teknologi Informasi jurusan e-commerce Sekolah Tinggi Teknik Surabaya ini, yakin Sepulsa dapat maju ke depan. Market pulsa online Indonesia yang sangat besar dan belum adanya pemain lain dalam sektor ini, mampu meyakinkan Founder Sepulsa ini untuk tetap melaju pada jalur yang diambilnya.

Berikut pemaparan lengkap Ananto, pada reporter SWA Online, Destiwati Sitanggang.

Bagaimana kisahnya, akhirnya Anda memutuskan mendirikan usaha start-up?

Sebenarnya saya memiliki passion yang sangat tinggi di bidang e-commerce dan online di Indonesia. Kebetulan sebelum-sebelumnya saya selalu bekerja pada orang. Pertama itu saya bekerja di Reebonz, perusahaan e-commerce asal Singapura. Memang saya orangnya cukup betahan dan kebetulan tempatnya cukup nyaman, makanya saya cukup lama di sana, sekitar 6 tahun.

Lalu, karena saya ingin merasakan khusus pasar Indonesia, maka saya keluar dan bergabung di Groupon Indonesia. Pada tahun 2014, saya ditetapkan sebagai Kepala Bidang Teknologi di Groupon Indonesia. Tanggung jawab saya adalah mengimplementasikan beragam teknologi baru untuk Groupon.

Ketika  di Groupon, saya menemukan beberapa hal yang tidak bisa saya lakukan di Groupon, tetapi bisa saya lakukan sendiri. Oleh karena itulah mengapa saya dan teman-teman memutuskan untuk memulai Sepulsa.

Lalu mengapa memilih jalur sebagai entrepreneur dari pada tetap di jalur profesional?

Sebenarnya menjadi seorang entrepreneur itu  lebih mudah untuk mengekspresikan diri. Saya melihat bahwa meskipun kita berada di posisi yang tinggi di jalur profesional, kita harus tetap mendapatkan komentar dari orang lain.

Selain itu, saya percaya, untuk pasar Indonesia, orang yang paling mengenal pasar Indonesia itu adalah orang Indonesia itu sendiri. Tidak jarang, ketika kita di jalur profesional, orang yang menjadi decision maker justru orang-orang yang tidak mengerti pasar Indonesia. Nah, dari situ saya berpikir, seharusnya tidak seperti ini. Itulah mengapa akhirnya saya memulai Sepulsa. Do my own things.

Berapa lama persiapan merintis Sepulsa?

Mungkin tidak terlalu lama,  sekitar 1,5 bulan, sebelum kami launching.

Kalau boleh tahu, kapan keluar dari Groupon?

Februari tahun ini.

Jadi, selepas dari Groupon Anda langsung men-develop Sepulsa ?

Ketika di waktu senggang,  saya sudah memulai develop dan mempersiapkan case-casenya. Sehingga ketika saya keluar dari Groupon, semua sudah ready, tinggal di-combine, lalu berjalan.

Lantas, apa alasan Anda memilih bidang IT ini sebagai lahan bisnis?

Sebenarnya karena memang passion saya di IT. Mengapa IT? Pertama, karena memang skill saya di bidang tersebut. Kedua memang passion. Jadi passion saya di IT ini belum kelar untuk dihabiskan.

Optimisme apa yang meyakinkan memilih jalur entrepreneur? Ini kan masih gambling kepastian ke depannya?

Benar sekali. Sebenarnya, kalau benar sekali yakin untuk menjadi entreprenuer itu, tidak juga. Selalu ada hal-hal yang membuat saya berpikir, bisa tidak ya. Tapi dari sekian banyak ide dan akhirnya memilih Sepulsa. Market Sepulsa inilah yang membuat saya yakin bahwa ini akan sukses.

Alasan pemilihan bidang pulsa?

Karena marketnya ada dan kami melihat belum ada layanan isi pulsa yang benar-benar, jadi satu paket yang OK, selalu ada kekurangan. Oleh karena itu, kami saya fokus sekali sekali pada teknologi, saya yakin tim Sepulsa juga orang yang berkompeten di bidang teknologi. Jadi, kami yakin dapat memberikan solusi yang paling baik.

Setelah Sepulsa berjalan dua bulan, pengalaman apa yang Anda rasakan sebagai entrepreneur?

Sebenarnya isi ulang pulsa tidak semudah itu, di belakangnya ada banyak hal yang harus dioptimasi. Awalnya saya berpikir, ah isi ulang pulsa cuma segini doang, tidak perlu banyak optimasi, ternyata saya salah. Banyak hal-hal teknikal yang baru diketahui ketika kita benar-benar terjun ke dalamnya. Tapi, hal tersebut justru menjadi sumber ide untuk memberikan inovasi.

Tapi saya katakan, entrepreneur is not for everyone. Jika kita benar-benar tidak memiliki passion di sana, jika kita tidak benar-benar suka melakukan apa yang dikerjakan, better don’t do that. Karena itu, akan banyak menguras energi. Ketika kita merasa capai dan segala macam, yang membuat saya bertahan adalah passion. Itu yang membuat saya akan maju terus ke depannya.

Sepulsa bisa dikatakan pionir, apa tantangan yang Anda temui?

Tentunya mensinergikan beberapa servis menjadi satu paket yang bagus. Misalnya isi ulang pulsa, ternyata isi ulang pulsa itu masih banyak hal yang sangat tradisional sekali dari mulai operator sampai ke pendistribusiannya. Jadi, yang namanya servis ini tidak selamanya bisa bagus. Contoh, kita ingin top up itu, bisa kapan saja, tetapi yang penyedia layanan top up it tidak selamanya 24 jam. Itu tantangan bagi kami, untuk dapat memberikan layanan yang 24 jam.

Lantas, apa yang Anda lakukan?

Kami meningkatkan performance,produktivitas dan memberikan rasa nyaman kepada pelanggan. (EVA)

The post Ananto Wibisono Mantap Menjadi Entrepreneur appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Duo Pembesut Boots Premium dari Cibaduyut

$
0
0

Bak cendawan di musim hujan. Itulah gambaran menjamurnya produsen sepatu buatan tangan alias handmade. Dan, salah satu pemain yang terbilang baru sekaligus agresif di bisnis ini adalah Djoone Footwear, produsen sepatu custom buatan tangan asal Cibaduyut yang dibesut oleh Imam Ciptarjo (25 tahun) dan Rizki Nasrullah (22 tahun) sejak 2012. Dengan modal patungan, mereka menyasar segmen penggemar sepatu boots berbahan kulit sapi di kalangan anak muda.

Imam Ciptarjo dan Rizki Nasrullah Founder Djoone Footwear Djoone Shop (Custom Shoes), youngters Edisi04 2015

Imam Ciptarjo dan Rizki Nasrullah Founder Djoone Footwear Djoone Shop (Custom Shoes), youngters Edisi04 2015

Tiga tahun berlalu, bisnis mereka kini mulai menampakkan titik terang. Saban bulan, ratusan pasang sepatu yang mereka produksi laris diboyong penggemar boots di seantero Nusantara, bahkan mancanegara. “Sejak sekolah saya sudah menjual sepatu dari toko-toko di Cibaduyut hingga kelar kuliah,” tutur Imam mengisahkan awal bisnisnya kepada SWA, di toko merangkap bengkel kerjanya di kawasan Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat.

Bisnis Imam terus bergulir hingga modal yang ada dirasa cukup untuk membuat produk sepatu sendiri. Dia lantas menggandeng temannya, Irwan Nugraha, kakak Rizki, yang seperti dirinya juga merupakan warga Cibaduyut. Mereka patungan sebesar Rp 20 juta sebagai modal awal yang habis untuk membeli mesin jahit, shoelast, mesin penipis kulit, kulit sapi, serta biaya promosi di dunia maya.

Belakangan, Irwan memilih mundur untuk bekerja di tempat lain. Saham Irwan kemudian dialihkan kepada adiknya, Rizki. Alhasil, hingga kini Imam dan Rizki bahu-membahu membesarkan Djoone.

Imam memaparkan, sejak awal, Djoone diposisikan sebagai merek sepatu premium berbahan kulit sapi. “Targetnya kami ingin memasarkan secara online dan membidik orang-orang di luar Bandung,” kata Imam yang didampingi Rizki saat wawancara. Secara spesifik, Djoone menggarap sepatu boots yang menurut mereka mudah dibuat tetapi berharga tinggi di pasar.

Imam fokus menangani pemasaran di dunia nyata dan maya, sedangkan Rizki mengurusi produksi dan SDM. “Keluarga Rizki memang memiliki bisnis seperti ini sehingga dia lebih mengerti masalah material, merekrut perajin, proses pengerjaan dan kualitas produk,” tutur Imam.

Sejak awal, pemasaran Djoone yang menargetkan konsumen premium dari luar Bandung, bahkan mancanegara, digarap serius. Promosi secara online digarap melalui blog, situs web, Kaskus, Facebook, Twitter dan Instagram. Djoone pun menggandeng artis agar bersedia menjadi endorser produknya seperti Kevin Julio, Rizky Alatas dan beberapa lainnya.

Djoone menerapkan tiga strategi penjualan, yakni custom, ready stock dan borongan. Custom menyasar semua kalangan; ready stock (yang ada di toko) menyasar segmen menengah-atas; borongan untuk pembeli di luar Bandung. Untuk mempercepat penyebarannya di toko fisik, Djoone yang dibanderol dari Rp 349 ribu hingga jutaan rupiah per pasang menerapkan sistem konsinyasi ke sejumlah toko di kawasan Bandung.

Dengan ramuan strategi itu, Imam mengklaim Djoone telah dikirim ke lebih dari 80 kabupaten atau kota di 27 provinsi di Indonesia. Bahkan, sepatu Djoone, masih menurut Imam, telah menembus pasar ekspor ke Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Setiap bulan, tak kurang dari 200 pasang sepatu dihasilkan dari bengkel Djoone di Cibaduyut yang ditenagai empat pekerja. “Keuntungan yang kami ambil berkisar 10%-30% dari harga jual, rata-rata di atas Rp 70 juta per bulan,” ungkap Imam.

Imam dan Rizki sudah memikirkan langkah pengembangan selanjutnya. “Kami sudah bekerja sama dengan sebuah toko di daerah Jakarta Selatan. Selain itu, kami juga mendapatkan tawaran buka di Semarang,” kata Imam.

Pakar bisnis dan pemasaran Jahja B. Soenarjo memaparkan, bisnis sepatu custom handmade memang tengah naik daun. “Bukan hanya yang berbahan kulit sapi, juga ada yang mengkhususkan diri menggunakan kulit kambing, kulit ikan pari, kulit ular dan buaya, bahkan spesialis sepatu berbahan serat bambu di Bandung,” ungkap Chief Consulting Officer Direxion itu kepada SWA.

Tren ini, lanjut Jahja, sejalan dengan konsep customized 1to1 marketing, yakni pelanggan ingin diperlakukan sebagai individu, memakai produk yang didesain khusus dan tidak digunakan orang lain. Fenomena ini diperkuat oleh maraknya online shopping dewasa ini. Ancaman terhadap bisnis ini, imbuh dia, justru timbul dari dalam diri pengusahanya sendiri. Ketika usahanya berkembang, sang pengusaha dituntut terus berinovasi sekaligus harus gigih mempertahankan kualitas meskipun kelak kuantitas yang diproduksi kian bertambah.

Solusinya, menurut Jahja, “Djoone bisa diposisikan sebagai pembuat sepatu yang sangat menguasai bahan baku dan mengajak pelanggan mengenali bahan baku sepatu yang berkualitas, alias edukasi kepada pelanggan, kemudian menyertakan pula testimoni pelanggan- pelanggan yang cukup populer dan representatif untuk memperkuat positioning-nya.”

Lebih lanjut Jahja menyarankan agar Djoone menggandeng para perancang busana dan melengkapi berbagai event peragaan busana, serta mensponsori pemotretan rubrik mode untuk media kelas atas. “Dengan begitu, tidak mustahil merek-merek terkenal sekelas Louis Vuitton atau Salvatore Ferragamo bisa maklun di Djoone,” kata Jahja serius.

 

BOKS:

Djoone Footwear

Pemilik: Imam Ciptarjo (25 tahun) dan Rizki Nasrullah (22 tahun).

Lokasi : Jl. Dipati Ukur 68 A, Bandung, Jawa Barat.

Keunggulan: Sepatu khusus buatan tangan model boots berbahan kulit sapi.

Produksi : 200 pasang per bulan.

Pasar: Seantero Indonesia dan telah ekspor ke Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

 

Eddy Dwinanto Iskandar dan Istihanah

Riset: Hanah Bilqisthi

The post Duo Pembesut Boots Premium dari Cibaduyut appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

$
0
0

Dunia seni peran yang sempat ditekuni dan melambungkannya hingga memiliki nama besar di kancah perfilman Indonesia ditinggalkan Dennis Adhiswara. Aktor yang memperkuat film Ada Apa dengan Cinta dan Jomblo ini, tahun 2012 resmi membesut Layaria, jejaring multikanal YouTube pertama di Indonesia. Ia bergerak sebagai wadah bagi para kreator video lokal untuk bersama-sama berkreasi, membangun, menciptakan atmosfer bisnis, dan mendistribusikan karya lewat YouTube.

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas

Sebagai CEO and Headmaster Layaria, Dennis bersama ke-12 rekan kerjanya, mengenalkan Layaria ke beberapa kota di Indonesia. Alhasil, lebih dari 70 partner kini bergabung dan bersama-sama mengembangkan Layaria, tersebar di 14 kota di Indonesia: Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Pontianak, Pangkalanbun dan kota lainnya. “Kami tidak menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Kami hanya ingin bergerak, berkarya sesuai passion, lalu men-share passion kami. Kami juga mengajak mereka untuk sama-sama berkarya. Mungkin spirit itulah yang dilihat oleh YouTube, sehingga kami pun bekerja sama dan Layaria resmi menjadi premium partnership,” tutur Dennis.

Menurut Dennis, fokus Layaria ialah video online. Layaria membangun, mendidik, memproduksi, dan mempromosikan video online dari para kreatornya. Kerjanya seperti apa? Bayangkan, ini seperti recording label. Bedanya kalau recording label itu bekerja sama dengan para musisi, dan hasil akhirnya berupa musik. “Nah, kami bekerja sama dengan video maker, bukan musisi, yang hasil akhirnya video online. Apa pun platformnya. Bisa YouTube, bisa Instagram,” tutur Dennis.

Ia suka menciptakan sesuatu terutama di bidang video dan film. Yang membuatnya senang membuat video online adalah gambar dan suara lebih cepat ditangkap, dan lebih lama berada dalam benak atau diingat. “Ada beberapa klien dari Layaria, antara lain, Indosat, Telkomsel, XL, Samsung, dan Lenovo. Saat ini kami mengerjakan proyek Telkomsel Loop. Kami juga ngerjain teman-teman start-up. Kreator videonya banyak, mulai dari yang masih baru, sampai yang sudah lama bertahun-tahun,” Dennis menjabarkan.

Untuk memperkenalkan Layaria, Dennis keliling dari kota ke kota. Saat memulai bisnis video online, bisnis ini sedang subur-suburnya karena baru muncul. Semua orang pasti ingin bikin video, jadi ada umpan balik baik dari mereka. “Kami juga memberi fasilitas kepada teman-teman yang jadi partner kami berupa pendidikan. Makanya, kami ada di tiga kota. Jakarta, Bandung dan Surabaya,” ia menambahkan.

Ke depan, Dennis berharap Layaria bisa seperti Disney. Menurutnya, Disney itu merupakan sekumpulan orang yang bekerja di perusahaan dan mereka memiliki visi yang sama untuk mewujudkan mimpi. “Spiritnya di situ. Dan itu semangat di Layaria juga,” Dennis menggarisbawahi. Ia berharap, para mitranya bisa mewujudkan mimpi mereka lewat media video online, walaupun mereka punya pekerjaan utama yang mungkin berbeda. Dennis mengilustrasikan, ada orang yang bekerja di pasar, passion dia sulap. “Ya sudah, silakan bikin sulap, tapi rekam di video dan ditayangkan secara rutin di YouTube. Atau di Instagram. Main jobnya tetap, enggak ditinggalin,” tuturnya.

Jadi, dia harus tetap berada pada pekerjaan utamanya, karena dia punya keluarga dan sudah punya penghasilan tetap di pasar. Dennis melihat passion yang begitu penting itu sayang kalau disia-siakan. Kalau disia-siakan, akan ada umur tertentu di mana passion itu hilang. “Buat saya, orang itu dinyatakan mati saat potensinya hilang. Makanya ada pepatah yang bilang, banyak orang mati umur 25 tahun tapi jasadnya dikubur di usia 75 tahun. Saya enggak mau itu terjadi pada diri saya,” ungkap Dennis.

Karena itulah, Dennis mendirikan Layaria. “Ini perusahaan, tapi bentuknya seperti komunitas. Dan, semangat kami start-up terus,” ia menandaskan. Layaria adalah perusahaan, tetapi Denis dan para mitranya bisa berkarya dan bersenang-senang terus. “Kami boleh jadi mengerjakan main job kami dari hari Senin sampai Jumat, jam 7 pagi sampai jam lima sore. Tapi setelah jam dan hari di luar itu, kami jadi diri kami sendiri,” ungkap Dennis.

Salah satu mitra Layaria adalah Pemkot Surabaya, Jawa Timur. Menurut Don Rozano, mantan Staf Ahli Wali Kota Surabaya yang kini jadi konsultan bisnis, Pemkot Surabaya sudah banyak membuat proyek bersama Layaria, antara lain, sharing dengan pelaku UMKM Surabaya untuk memanfaatkan media online sebagai alternatif promisi dan pemasaran dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. “Dalam event yang diikuti sekitar 600 pelaku UMKM yang mayoritas ibu-ibu, Dennis sangat piawai berkomunikasi dengan bahasa yang dimengerti disertai contoh-contoh yang memikat,” tutur Don.

Kegiatan lainnya adalah sharing dengan calon pelaku bisnis perfilman dan miniworkshop online video maker dengan sekitar 650 pelajar SMA/SMK se-Surabaya, dan Co Working Space and Techno Start-Up, Start Surabaya. “Pemkot berkolaborasi dengan Layaria dalam menggagas dan membangun industri kreatif di Surabaya yang mampu bersaing dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015,” Don menambahkan. Ia terkesan dengan cara kerja Dennis yang mampu menyampaikan materi secara ringan dan memotivasi peserta untuk berkarya.

Didin Abidin Masud & Lia Amelia Martin

Riset: Hana Bilqisthi

The post Dennis Adhiswara: Layaria Beroperasi seperti Komunitas appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Susan Emir, Kenalkan Gaya Shabby Chic dalam Desain Interior

$
0
0

Meski tidak mengeyam pendidikan di bidang interior, popularitas Susana Yolandani Ishak tidak kalah dari desainer interior top di Indonesia. Karyanya yang bergaya shabby chic yang feminin dan klasik banyak dilirik oleh kalangan pejabat, selebritas, hingga pasar Eropa. Media sosial seperti Instagram menjadi media yang ampuh untuk merekam jejak karyanya.

Susan Emir Desainer pemilik Rumah Sabina, Design Interior Furniture, HomeDecor, Youngters Edisi05 2015

Susan Emir Desainer pemilik Rumah Sabina, Design Interior Furniture, HomeDecor

Susana atau yang lebih kondang dikenal dengan nama Susan Emir bisa dibilang salah satu rising star di bidang desain interior saat ini. Kreasi wanita berusia 35 tahun ini acap kali tampil di beberapa program televisi. Sebut saja, Basa-Basi (Trans TV), Lintas Imaji (NET), D’sign (NET), Queen at Home (NET), dan Simfoni Cinta (Trans TV).

Yang menarik, perempuan berparas cantik ini mengaku tidak berlatar belakang pendidikan atau bahkan mengambil kursus di bidang desain. Ia mengasah kemampuan secara otodidak melalui buku, Internet, hingga pengamatan ketika jalan-jalan. “Sejak kecil saya bercita-cita ingin menjadi pengacara. Tapi setelah menjadi pekerja profesional, saya baru menyadari bahwa ada bakat yang belum saya selami lebih dalam,” ungkap perempuan asal Sukabumi ini.

Cita-cita kecilnya terpenuhi ketika selepas menyabet gelar sarjana hukum dari Universitas Trisakti, ia diterima bekerja di sebuah lembaga advokasi. Namun, belum genap satu tahun, Susan memutuskan hijrah ke perusahaan dan mencoba peruntungan di bidang yang berbeda.

Tahun 2003, istri Emir Gema Surya ini berlabuh ke Vinci Energies Group, perusahaan asal Prancis di bidang rancang bangun industri pertambangan dan perminyakan. Karier Susan terus menanjak hingga akhirnya menduduki posisi paling strategis selama 11 tahun. Namun, “Mimpi akan terbatas jika saya hanya berstatus pegawai. Karena itu, saya memutuskan untuk menggali bakat desain dan mengejar mimpi setinggi-tingginya,” katanya penuh semangat.

Karena “terlahir” secara otodidak, kariernya sebagai desainer interior tidak langsung melejit. Untuk proyek percontohan, misalnya, ia mengubah tampilan dan isi rumahnya yang terletak di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, sebagai tempat menuangkan kreativitas. Tak disangka, karya Susan banyak menarik perhatian kolega suaminya. “Dari mulut ke mulut, lama-kelamaan makin banyak tawaran untuk mengerjakan desain interior rumah teman suami,” tutur ibunda Ezra Magnar Khalif, Jethro Gema Magali, dan Sabine Tesla Amadine ini.

Kerja keras Susan berbuah manis. Permintaan merenovasi atau mendesain interior ruang kian bertambah. Maka pada Juni tahun lalu, ia mendirikan Rumah Sabine untuk memperjelas posisinya di jasa desain interior. Namun, ambisi Susan tidak berhenti sampai di situ. Lagi-lagi secara otodidak, ia mengembangkan kemampuan di bidang dekorasi rumah dan perabot, sehingga bisnisnya menjelma sebagai jasa penyedia desain yang komprehensif, yakni bernama Rumah Sabine – desain interior, home decor & furnishing.

Rumah Sabine langsung populer dalam hitungan bulan. Itu bisa dilihat dari banyaknya pejabat negara dan figur publik seperti presenter Fenita Ari yang tertarik memakai jasanya. Dalam mendesain, Susan mengusung gaya shabby chic, yakni aliran yang berasal dari Inggris dan sangat populer di Eropa khususnya Prancis. Karyanya bisa dikenali dari motif bunga dan pemilihan warna yang khas.

Kini Susan tidak berjuang sendiri. Ia telah dibantu lebih dari 20 karyawan. Sekarang Susan sudah memiliki sebuah workshop di Jagakarsa, satu showroom di Pejaten, dan satu galeri di Mampang, Jakarta. Untuk mempromosikan jasa dan karyanya, Susan beberapa kali beriklan di Majalah Rumahku, serta memanfaatkan Instagram untuk branding dan pemasaran. “Tidak banyak desainer yang bergaya shabby chic. Nah, di sinilah oportunitas buat saya,” ucap Susan yang mengaku sedang merampungkan proyek desain untuk sebuah kafe.

Menurutnya, Rumah Sabine membidik kalangan menengah-atas. Harga yang ditawarkan bergantung pada keinginan klien yang umumnya berkisar Rp 50 juta-2,5 miliar, dengan rentang waktu pengerjaan dua-tiga bulan. Dalam sebulan, Rumah Sabine bisa menerima 6 proyek. “I work with the budget. Klien punya berapa, maka akan saya sesuaikan. Saya mengambil 15% fee dari nilai total proyek,” ungkap wanita yang juga hobi berburu kuliner ini.

Sementara itu, Windy, pelanggan Rumah Sabine, mengatakan, mencari konsultan desain interior yang bergaya shabby chic sangat sulit. “Saya suka dengan karakter shabby chic yang terkesan homey, nyaman, dan terlihat elegan. Susan tahu betul bagaimana mendandani rumah saya. Jadi ketika kami bertemu, tidak banyak diskusi antara saya dan dia. Dia mempresentasikan konsepnya, dan saya langsung suka,” ucapnya.

Adapun biaya, sangat bergantung pada ruang yang didandani. “Misalnya untuk mendandani kitchen set lebih dari Rp 50 juta,” kata Windy. Baginya, harga sebesar itu masuk akal karena konsep desain plus kitchen set ditangani langsung oleh Susan. “Kualitasnya pun nomor satu. Susan sangat care kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi,” ucapnya memuji.

Kini, selama 9 bulan merintis usaha, Susan mengaku belum menemui hambatan yang berarti. Tantangan ke depan, menurutnya, adalah soal ketersediaan tenaga profesional. Ia berharap, bisa menggandeng arsitek dan insinyur sipil untuk berkolaborasi. Susan juga berencana meningkatkan dua sampai tiga kali lipat jumlah karyawannya. “Kunci keberhasilan bisnis ini adalah berkat inisiatif, dukungan, kolaborasi, dan effort dari suami tercinta. Dia partner hidup, sekaligus pemegang saham di bisnis ini,” ujar Susan sambil tertawa lepas.

Ario Fajar dan Dede Suryadi

Riset: Sarah Ratna Herni

The post Susan Emir, Kenalkan Gaya Shabby Chic dalam Desain Interior appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Si Kembar di Menara BTS

$
0
0

Kemauan kuat untuk belajar. Itulah yang menandai dua sosok kakak adik, Arya Pradana Setiadharma dan Ardi Dwinanta Setiadharma dalam berbisnis. Putra kembar dari mantan CEO Astra, Budi Setiadharma ini bak dicemplungkan ke kawah candradimuka ketika tahun 2008 ditugasi ayahnya mengelola perusahaan yang didirikan sang ayah, PT Prasetia Dwidharma. Tahun 2008 Arya langsung ditugasi sebagai Dirut dan tahun 2009 Ardi diamanatkan sebagai Direktur Keuangan. “Kami cari-cari peluang bisnis sendiri, kami analisis. Pak Budi yang menjadi komite investasi,” kata Arya, lulusan S-1 dan S-2 Teknik Industri dari Purdue University.

Arya Pradana Setiadharma dan Ardi Dwinanta Setiadharma

Ardi Setiadharma, Finance Director PT. Prasetia Dwidharma (Batik Biru) dan Arya P. Setiadharma Presdir PT. Prasetia Dwidharma

Kini dua saudara ini berhasil membesarkan PT Prasetia Dwidharma yang eksis di bisnis kontraktor dan pengembangan menara base transceiver station (BTS) – mulai dari membangun hingga pemeliharaannya (maintenance) – di berbagai pelosok. “Sekarang ada sekitar 2.400 menara yang kami maintain. Menaranya ada di Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi,” ungkap Ardi. Pelanggan pun datang dari kalangan perusahan top seperti Telkomsel, Grup IBS, dan Smart Telecom.

Budi punya acara melatih bisnis kedua putranya ini. Mereka berdua dibiarkan belajar sendiri di lapangan, merasakan sendiri pahit getirnya berkompetisi dalam bisnis. “Waktu awal Pak Budi memang memberikan modal, tapi setelah itu kami dilepas. Tahun 20082010 Pak Budi tidak mau ikut campur. Baru tahun 2010 sering datang, sebulan dua kali. Biasanya datang untuk melihat dan memberikan arahan, bagaimana cara menghitung bisnis,” ungkap Arya.

Arya dan Ardi juga diberi kebebasan ayahnya dalam memilih bisnis. Meski Budi punya beberapa usaha, termasuk pabrik yang sudah berjalan, ia tak menyuruh anak-anaknya untuk mengelola salah satu bisnisnya. “Kami diberi kebebasan untuk eksplor. Akhirnya kami cari something new untuk keluarga,” kata Arya.

Diakui Arya dan Ardi, mereka terus belajar bagaimana mengelola usaha yang baik. “Mentor utama kami tentu saja Pak Budi,” kata Ardi. Meski perusahaan yang dibangun terbilang muda, mereka berusaha mengelola secara benar dari sisi SDM, sistem ataupun teknologi. “Kami melihat SDM lebih dulu. Kami adakan pelatihan, pengembangan, dan ikut seminar. Kami percaya bahwa with good people, we get good value,” ujar Ardi seraya menyebutkan, perusahaannya memberikan kebebasan karyawan untuk kuliah lagi.

Hal itu dibenarkan Arya, “Kami sebagai manajemen harus supportive terhadap peningkatan kompetensi. Harus terbuka, dekat dengan karyawan, dan semua karyawan harus tahu perusahaan mau di bawa ke mana,” tambah Arya.

Sejauh ini sudah banyak terobosan yang dibuat dua bersaudara ini. Misalnya, dengan terus membuka cabang operasional baru di luar Jabodetabek seperti yang baru-baru ini dilakukan di Makassar dan Palembang. Lalu, pola dan sistem kerja baru terus dicoba agar efisien. “Sekarang ini dalam setahun bisa mengelola 2.300 menara BTS. Kalau dengan sistem lama pasti tidak akan terkelola dengan baik. Tapi kami review terus terhadap SOP dan karyawan mau berubah, sehingga hasilnya juga bagus,” tambah Ardi yang juga lulusan Purdue University.

Ke depan, banyak target yang hendak dikejar Arya dan Ardi. “Target kami memang banyak. Tapi akan fokus agar bisa menjadi perusahaan the best in maintenance. Percuma maintain 100 ribu menara tapi konsumen nggak puas,” Arya menjelaskan. Pihaknya juga menargetkan bisa segera mengelola 3.500 menara dengan kualitas yang tidak menurun. Target lain si kembar: bisa mempekerjakan karyawan yang semakin banyak.

Sudarmadi & Herning Banirestu

The post Si Kembar di Menara BTS appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Conclave, Co-working Space 24 Jam yang Suburkan Start-up Lokal

$
0
0

Konsep kantor sekarang dengan 10-15 tahun lalu sudah berubah banyak. Dulu kantor hanya sebuah ruang kerja, yang dimiliki satu usaha tertentu, di satu tempat saja. Kini dengan kemajuan teknologi dan era 2.0, membuat orang bisa menggunakan laptop dan sambungan internet, lalu “berkantor” dimana saja. Bisa di kafe atau ruang kerja bersama. Mobilitas bekerja yang makin tinggi membuat orang membutuhkan tempat kerja yang nyaman, tertutama mereka yang memang tidak memiliki ruang kantor sendiri seperti freelancer, professional, pebisnis start-up, copy writer, dan sebagainya. Co-working space adalah salah satu yang menjadi pilihan mereka untuk bisa menikmati kerja di tempat yang tentu saja suasananya nyaman dan harga sewa tempat yang lebih sesuai dengan kondisi mereka.

ki-ka: Rendy Latief, CEO Conclave; Aditya Hadiputra, CFO dan Bradhika Ayodya, Manajer Pemasaran

ki-ka: Rendy Latief, CEO Conclave; Aditya Hadiputra, CFO dan Bradhika Ayodya, Manajer Pemasaran

Co-working space kini sedang marak terutama di kota-kota besar. Beberapa yang sudah berdiri di Jakarta adalah Comma ID, WorkOut, Jakarta Digital Valley, Kejora, Biline Space, Tier Space, dan sebagainya. Dan masing-masing tentu menawarkan perbedaan sendiri-sendiri. Adalah Conclave, co-working space yang baru memperkenalkan diri meski perusahaan ini sudah berdiri sejak 2013.

“Kami membuka ini karena melihat kebutuhan tempat kerja yang nyaman dengan fasilitas yang menunjang makin tinggi saat ini. Apalagi saat ini harga sewa tempat dan lahan makin mahal,” ujar Rendy Latief, CEO Conclave yang juga salah satu pendirinya. Tidak banyak menurutnya tempat kerja yang memungkinkan orang bisa bekerja di sana 24 jam, beberapa ruang kantor di gedung-gedung, AC sudah dimatikan ketika sudah larut malam. Akhirnya sebagian dari mereka memilih bekerja di kafe, yang tentu saja suasananya tidak nyaman dan agak bising.

Rendy dan Aditya Hadiputra, pendiri lain yang juga Chief Finance Officer (CFO) Conclave—total ada 4 pendiri–melihat makin besar dibutuhkannya ruang kerja bersama yang nyaman dengan fasilitas mendukung yang juga bisa digunakan 24 jam dan tentu saja aman di era 2.0 ini. Mengambil lokasi pertama di Jalan Wijaya 1, Jakarta Selatan, Conclave menawarkan kenyamanan lebih yang tidak ditawarkan co-working space yang sudah ada selama ini.

Menurut Rendy, lebih banyak co-working space makin baik, karena menyediakan tempat bekerja yang lebih nyaman dapat menunjang berkembangnya ide-ide kreatif bisnis serta kolaborasi bisnis lebih subur. “Kami murni sebagai co-working space, bukan sebagai incubator atau CSR sebuah perusahaan. Di Conclave bisa jadi wadah bagi para start up business bekerja serta bertemu orang baru yang tentu bisa menumbuhkan ide bisnis baru,” jelas lulusan SBM ITB yang sebelumnya 5 tahun bekerja sebagai professional di berbagai perusahaan.

Ditambahkan Aditya, mungkin berbagai co-working space juga menyediakan fasilitas menunjang lain. Tapi yang menarik di Conclave orang bisa bekerja di sini 24 jam. “Di sini juga ada empat venture capital dari Singapura, Sillicon Valley, Jepang, dan Indonesia, yang menjadi klien kami dan menggunakan tempat ini, tentu saja ini menarik bagi para start up jika bisa dilirik mereka kalau bertemu di sini,” tutur Aditya. Conclave menurutnya membentuk ekosistem yang mendukung untuk bisnis start up, bukan saja menyediakan tempat bekerja saja.

Karena yang datang ke Conclave latar belakangnya berbeda, membuat mereka menemukan solusi-solusi dari bisnisnya dari mereka yang ne. Seperti bagaimana menghitung pajak bisa didapat mungkin dari start up lain yang sudah menggunakan, bagaimana strategi bisnis bisa dijalankan, sharing ide dan sebagainya. “Beberapa bisnis startup sudah rutin datang ke sini,” tutur Aditya. Salah satu contoh yang menarik disebut Rendy, Fabelio.com adalah bisnis startup yang terbentuk di Conclave karena personil-personilnya kerap ketemu di sini. Fabelio.com adalah bisnis startup yang fokusnya ecommerce furniture. Juga ada Idesabi.com, yang terbentuk karena sering saling bertemu di Conclave.

Rendy memperhatikan, lebih banyak co-working space yang ada saat ini menawarkan agar para bisnis startup harus menjadi bagian incubator mereka dulu sebelum menggunakan ruang kerja bersama mereka. Sedang di Conclave tidak, siapapun bisa bekerja di Conclave, bisnis startup apapun, apakah itu repacking makanan, F&B, jual beli kelontong, jual beli mobil, dan sebagainya.

Empat lantai gedung Conclave menawarkan berbagai fasilitas yang sangat menunjang bekerja dengan lebih menyenangkan. Antaranya ruang kerja bersama yang bisa menampung hingga lebih dari 100 orang, meeting room, presentation room, auditorium yang bisa menampung 125 orang, perpustakaan, entertainment room untuk relaksasi saat penat bekerja datang, smooking room, shower room bagi yang ingin mandi sebelum pulang ke rumah, kafe Mikoro (menyediakan mie, kopi dan rokok), juga workshop bagi yang membutuhkan ruang buat bekerja bebas (art, wood working, metal working dan sebagainya) serta tentunya Wifi yang kenceng (didukung 4 provider internet guna jaga-jaga jika salah satu internet down).

Rendy dan kawan-kawan menyebut sekitar Rp 5 miliar investasi yang dikeluarkan untuk membangun Conclave. Lahannya sendiri masih sewa selama 5 tahun dan akan diperpanjang untuk 10 tahun. Bagi yang ingin menggunakan ruang kerja di Conclave dikenakan biaya Rp 50 ribu/jam, Rp 200 ribu/24 jam, Rp 1 juta/minggu, Rp 20 juta/tahun. Dan beberapa skema rate sewa yang fleksibel dengan top up untuk memudahkan pelanggan yang menggunakan Conclave (www.cnclv.com). Hingga kini ada 50 member tetap Conclave. Serta masih banyak yang tidak rutin seperti mahasiswa, pekerja lepas, pekerja seni dan sebagainya yang datang harian. Beberapa yang sudah menjadi member tetap Conclave adalah JobForwardd, Local.co.id. Fabelio, Fenox Venture Capital, Monk’s Hill Ventures, dan sebagainya. Sejak Desember 2014 hingga kini ada 200 pengguna baru tiap bulannya.

“Kami akan membuka Conclave di September tahun ini di Seminyak, Bali, lahannya sudah ada,” imbuh Rendy. Lalu ke kota-kota lain seperti Surabaya dan Yogja, serta satu lagi di Jakarta. Setelah itu pergi ke Sumatera, Kalimantan Timur, juga akan membuka di Singapura. Dengan adanya Conclave di beberapa tempat, mereka yang memiliki kartu membership Conclave, bisa menggunakannya di lokasi berbeda.

Sayed Muhammad, pendiri statrt up Local.co.id, salah satu yang menjadi pengguna pertama dan hingga kini menjadi klien tetap Conclave, melihat co-working space seperti ini sangat dibutuhkan. Dulu ketika sebagai freelance, ia sangat sering mencari tempat semacam ini, sebuah co-working space yang bisa mempertemukan banyak orang yang tentu bisa memunculkan ide-ide bisnis baru, bukan saja tempat kerja biasa. Conclave menurutnya telah membuatnya menemukan orang-orang baru, bisnis baru dan project-project baru. Sayed kini memiliki 15 orang karyawan, yang focus bisnisnya mendukung produk dan merek lokal, terutama yang terkait bisnis kreatif untuk pemasarannya. “Saya bahkan membuat bisnis bareng dengan Sayed, karena ketemu dia disini,” pungkas Rendy.

The post Conclave, Co-working Space 24 Jam yang Suburkan Start-up Lokal appeared first on Indonesia Youngster Inc..


Hendrawan S. Hadi

$
0
0
Hendrawan Saputro Hadi

Hendrawan Saputro Hadi

Dunia pemasaran sudah menjadi pilihan hidup Hendrawan Saputro Hadi. Baginya, ilmu pemasaran adalah silaturahmi. Ini sejalan dengan karakternya yang suka bertemu banyak orang dan bersosialisasi. Maka, setamat kuliah S-1 Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah, Malang, dia memilih bekerja di bagian pemasaran hingga sekarang.

Perjalanan kariernya dimulai dari Indosat tahun 2007. Sembari bekerja, untuk memperdalam ilmu pemasaran, dia kuliah lagi untuk meraih gelar master di Jurusan Manajemen Pemasaran Universitas Trisakti. Setahun di Indosat, Hendrawan menjajal dunia perbankan, tetapi tetap di bagian pemasaran juga, yaitu pindah ke Bank OCBC NISP. “Di Bank OCBC NISP, saya banyak belajar tentang penjualan dan dididik keras untuk menjadi seorang pemasar andal,” ucap pria kelahiran Blitar 24 Juni 1983 itu.

Hendrawan mengaku, berkat kinerjanya yang cemerlang di Bank OCBC NISP, dia banyak mendapat tawaran kerja, salah satunya di Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN). Dia pun hijrah ke bank swasta itu dan bertahan hingga lima tahun. Di BTPN, pehobi main sepak bola dan basket ini dididik sebagai leader yang membawahkan 6-7 staf pemasaran. Waktu itu, dia bertanggung jawab untuk tiga cabang BTPN di Jakarta cabang Puri, Pecenongan, dan Rawamangun.

Berbekal pengalaman kerja di OCBC NISP dan BTPN itulah, Hendrawan makin tertantang kerja di bank lain. Tahun 2015, dia memutuskan berlabuh di Bank Capital sebagai manajer bisnis.

Tugas sebagai Manajer Bisnis Bank Capital sangat berat. Hendrawan menyebut sederet tanggung jawabnya, antara lain, mengembangkan, merencanakan, dan mengoordinasi semua staf. Lalu, memastikan efisiensi biaya hingga tercapai profit cabang. Juga, memenuhi target penjualan yang ditetapkan oleh perusahaan mulai dari perspektif finansial, seperti meningkatkan profit stabilitas cabang, penghimpunan dana, hingga pengendalian biaya operasional. “Selama dua bulan saya bekerja di Bank Capital memang belum ada kendala yang berarti, karena tim masih bekerja dengan baik dan sesuai dengan arahan,” ujarnya lega.

Meski demikian, Hendrawan sudah menetapkan target pencapaiannya di Bank Capital. Dia ingin cabang Kelapa Gading yang dipegangnya saat ini bisa tumbuh dan mendapatkan profit maksimal. Caranya, dia mengevaluasi khusus target pasar dan menjaga hubungan baik dengan tim. Dia memiliki lima prinsip utama yang dijalankan sebagai strategi pemasaran di Bank Capital, yakni: tim harus memahami produk dan keunggulan produk, fokus target pasar, proses penjualan yang sesuai dengan perencanaan, evaluasi, dan membina hubungan baik dengan klien.

Untuk rencana karier ke depan, saya ingin meraih posisi direktur pemasaran dan membantu agar Bank Capital bisa memperbanyak cabang, serta tetap mempertahankan layanan kepada nasabah,” ujar eksekutif yang pernah meraih hadiah jalan-jalan ke Madrid, Barcelona, dan Lisboa (Portugal) atas prestasinya itu.

Eva M. Rahayu/Tiffany Diahnisa

The post Hendrawan S. Hadi appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Reti Oktania

$
0
0

Merintis karier di industri otomotif sejak 7 tahun lalu, akhirnya Reti Oktania kini kembali ke dunia yang sama meski berbeda nama perusahaan. Dimulai tahun 2008, dia bekerja di bagian SDM, PT Toyota Astra Motor. Lalu, tahun 2010 pindah ke Jardine Matheson di Hong Kong, dan tahun 2012 bergabung dengan Ford Motor Indonesia (FMI).

Reti Oktania

Reti Oktania HRD Manager PT. Ford Motor Indonesia

Reti tertarik bekerja di Ford karena menurut risetnya, tahun 2011 penjualan FMI naik 94% atau dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Nah, dengan pengalaman pernah bekerja di Grup Astra, dia merasa tertantang untuk turut memajukan FMI.

Dengan jabatan sebagai Manajer Operasional Bisnis SDM FMI, Reti bertanggung jawab memastikan operasional SDM seperti rekrutmen, siklus performa, people development, relasi karyawan, dan administrasi SDM berjalan dengan lancar. Ia juga bertugas mengidentifikasi adanya kebutuhan bisnis pada sisi SDM dan memberikan solusi yang efektif.

Apa saja prestasinya? “Saya berhasil membenahi proses rekrutmen dengan cara rekrutmen kandidat pasif. Rekrutmen kandidat pasif dilakukan dengan cara mencari talenta yang ada di pasar tanpa membuka iklan lowongan pekerjaan di mana pun,” tutur alumni Jurusan Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2004 ini.

Hasilnya, dalam beberapa bulan saja, posisi-posisi yang sudah lama kosong akhirnya terisi tanpa mengeluarkan biaya. Berkat prestasinya dalam membenahi sistem rekrutmen, mengurangi recruitment lead time dan biaya rekrutmen, serta menjaga agar kualitas talenta tetap sesuai dengan kebutuhan perusahaan, ia memperoleh penghargaan Ford Asia Pacific Recognition Program pada Juli 2013.

Wanita kelahiran Jakarta 13 Oktober 1986 ini menjelaskan, Untuk meningkatkan skill, dia tidak malu dan suka bertanya kepada orang yang lebih paham. Menurutnya, bertanya adalah sarana pembelajaran yang cukup efektif selain membaca. Berkumpul dengan komunitas yang positif juga merupakan kiatnya untuk mengembangkan diri.

Selain sibuk mengembangkan karier, mantan finalis Abang None Jakarta tahun 2007 ini tak lupa meluangkan waktu untuk kegiatan sosial. Itulah sebabnya, dia tertarik mengembangkan hal yang berkaitan dengan pendidikan anak dan parenting. Lalu, dia membuat proyek sosial yang dinamai Taman Kembang Gula. Proyek ini sudah dijalankan sejak tahun 2014 sebagai wadah para orang tua yang bekerja untuk memiliki quality time dengan anak.

Nah, di tahun 2015, ibunda Katya Kirana Azalia (tiga tahun) ini, berencana membuka kembali sesi playdate di Taman Kembang Gula yang sempat vakum karena kehamilan anak kedua. Selain itu, ia ingin memperluas pengetahuan sebagai generalis SDM. Ke depan, ia ingin dapat kembali ke masyarakat dengan membuka institusi pendidikan, seperti taman kanak-kanak ataupun kursus gratis.

Eva M. Rahayu/Maria H. Azzahra

The post Reti Oktania appeared first on Indonesia Youngster Inc..

William Edison, Piawai Berbisnis Mesin Roaster Kopi

$
0
0

Sukses berwirausaha tidak harus didukung latar belakang pendidikan formal yang sesuai. William Edison membuktikannya. Meski tidak punya latar belakang teknik permesinan, lulusan STIKOM Bali ini sukses berbisnis mesin roaster kopi. Ia membuat mesin roaster, memasarkan, bahkan mengekspornya.

William Edison

William Edison

Mulai berbisnis tahun 2011, pada 2013 William sudah menjual 60 unit mesin roaster dalam setahun. Tahun lalu bahkan sudah bisa menjual 100 unit mesin. Total tak kurang dari 200 unit mesin sangrai kopi yang diproduksi dan dipasarkan.

Lahir dari keluarga sederhana, tahun 2004 William pindah ke Bali setelah menyelesaikan SMA-nya di Riau. Di Bali ia tinggal bersama saudaranya, dan melanjutkan kuliah di STIKOM. “Di sela-sela kesibukan kuliah, saya bekerja sampingan di pabrik kopi merek Kupu-Kupu Bola Dunia, sebagai tur pemandu pabrik selama empat tahun,” ujarnya.

Selulus kuliah tahun 2008, William bekerja di sebuah pabrik milik orang Taiwan di Toraja Sulawesi Selatan, sebagai eksportir kopi Toraja. Bekerja selama tiga tahun membuatnya belajar banyak hal tentang kopi. Bahkan ia paham bisnis kopi dari hulu hingga hilir. Tak heran, akhirnya ia tertarik membuka usaha sendiri di bidang kopi.

Bisnis pertama yang digulirkannya: menyajikan fresh coffee. Ia menyangrai kopi yang diolah langsung dengan mesin sangrai, lalu kopi itu dibuat menjadi bubuk dan disajikan kepada konsumen sesuai dengan pesanan.

Apa daya, bisnis tersebut terkendala alat sangrai yang harganya sangat mahal, Rp 60-80 juta untuk kapasitas 1 kg. Dari situlah, pria kelahiran Bagansiapiapi 21 Februari 1984 ini terinpirasi untuk menciptakan alat sangrai kopi sendiri.

Karena bukan ahli permesinan, akhirnya ia pergi ke Jakarta menemui sepupunya, Andryas (39 tahun) yang punya latar belakang teknik serta sudah pernah berkecimpung di dunia perbengkelan dan mesin.

Setelah berembuk, dengan modal Rp 2 juta, William dan Andryas mulai mengibarkan bendera Feike Coffee Roaster. Mereka merangkai mesin sangrai kopi. Tahun pertama, 2011, yang pertama dilakukan adalah membuat prototipe mesin sangrai kapastitas 300 gram kopi. Dengan berbagai percobaan dan memburu material yang dibutuhkan, kedua orang ini tak kenal lelah membuat mesin dengan bahan yang mampu dibeli. Akhirnya mesin pun dibuat dengan kualitas yang diyakini bagus dengan bahan yang efisien.

“Setelah selesai buat prototipe mesin kapasitas 1 kg ini, kami sebar di media sosial. Tak kami sangka, ternyata ada orang dari Gayo Aceh yang membutuhkan mesin ini setelah melihat tutorial di YouTube. Kami lalu membuat pesanan coffee roaster dan kirim ke Aceh,” cerita William.

Ternyata pelanggan pertama itu komplain karena pemanasan mesin dianggap kurang matang. “Setelah kami jelaskan kembali, ternyata masalah ada pada regulator mesin dia yang kurang tinggi. Dari situlah pelanggan itu puas dengan mesin kami. Dia lalu mengirimkan foto proses dia menyangrai kopi di toko kopinya dan disebar ke teman-teman lain di Aceh, dan ditulis di blog khusus mengupas kopi,” papar William.

Satu pelanggan puas, yang lain pun berdatangan. Dan karena pelanggan pertama dari Aceh, tak heran yang datang kemudian kebanyakan dari Aceh, lebih dari 20 orang. William pun kemudian menghibahkan satu unit mesin sangrai kapasitas 1 kg untuk Gayo Coffee Team agar petani kopi Gayo belajar menghasilkan kopi berkualitas tinggi.

Saat ini, dibantu 7 karyawan, setiap bulan rata-rata William mengerjakan pesanan 10 unit mesin coffee roaster. Kalau ditotal sejak tahun 2011, tak kurang dari 200 unit yang sudah terjual. Dan bak bola salju, pemesan berdatangan dari luar Aceh, yakni Medan, Jambi, Palembang, Lampung, dan Pulau Jawa. “Di Bali mayoritas coffee shop sudah menggunakan alat roaster buatan kami ini,” ujarnya bangga. Bahkan pihaknya pun sudah mengekspor ke Malaysia, Taiwan, Hong Kong dan Swiss.

William tidak menjual alat ini dengan pola ready stock. “Semua harus melalui proses inden atau pemesanan 1,5 bulan sebelumnya,” katanya. “Rata-rata omset yang kami terima mencapai Rp 110-120 juta per bulannya,” dia menambahkan.

Kelebihan mesin sangrai William adalah harganya yang murah, Rp 7 jutaan. Selain itu, mesinnya masih dapat bekerja ketika listrik mati karena ada alat engkel yang bisa diaktifkan. Yang lebih penting, dengan menggunakan mesin ini, petani kopi dapat meningkatkan harga jual kopi tiga kali lipat.

Sudarmadi & Syukron Ali

Riset: Gustiyanita Pratiwi

The post William Edison, Piawai Berbisnis Mesin Roaster Kopi appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Agus Wibisono, Menjajal Peluang Asuransi Online

$
0
0
Agus Wibisono

Agus Wibisono Founder Asuransi88.Com

Bingung memilih perusahaan asuransi mana yang layak, terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan? Atau ingin mengecek kondisi polis, informasi seputar klaim, konsultasi, dan tata cara pengajuan klaim? Tak perlu ribet, klik saja Asuransi88.com. Asuransi online ini menyediakan informasi secara lengkap seputar asuransi bagi nasabah atau calon nasabah, mulai dari jumlah premi, jenis layanan, hingga jaminan yang akan didapat dan tidak didapat dalam produk asuransi dari berbagai perusahaan asuransi di Indonesia. Melalui portal ini, pengguna bisa mendapatkan daftar produk asuransi dari yang termurah sampai yang termahal, meliputi asuransi kendaraan, asuransi rumah, asuransi perjalanan, asuransi jiwa, sampai asuransi kesehatan.

Berbekal keahlian di bidang teknologi informasi dan pengalaman berkarier di dunia asuransi selama lebih dari sedasawarsa, Agus Wibisono tergelitik membesut asuransi online. Menggandeng beberapa temannya yang juga mempunyai pengalaman di dunia asuransi, pada 2014 ia membesut Asuransi88. Asuransi online ini dia hadirkan dengan visi membantu nasabah dalam mencari produk asuransi yang tepat dari sekian banyak perusahaan penyedia produk asuransi. “Awalnya saya sendiri yang mengerjakan konsep dan desainnya, sedangkan sistem di belakangnya dibantu beberapa programmer,” ungkap lulusan sebuah universitas di Semarang ini.

Di mata pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 14 Agustus 1975 ini, tak ada bisnis yang tidak bisa dikaitkan dengan teknologi. Agus mengembangkan bisnis asuransi online layaknya portal tiket pesawat atau hotel. Setelah mengembangkan sistem bisnisnya, ternyata beberapa perusahaan asuransi seperti Sinarmas, ACA dan SequisLife tertarik bermitra. Baru berjalan setahun, Asuransi88.com telah menggandeng l5 perusahaan asuransi. “Kami fokuskan pada asuransi yang umum saja seperti asuransi jiwa yang meliputi kesehatan, kecelakaan, pendidikan, asuransi jiwa unitlink, serta asuransi umum yaitu kendaraan, bangunan, perusahaan, dan perjalanan,” papar CEO Asuransi88 ini. Ke depan, ia menargetkan bisa menggandeng lebih banyak mitra dari perusahaan asuransi.

Portal Asuransi88.com, menurut dia, lebih tepat dikatakan sebagai gerbang nasabah yang ingin mencari informasi seputar produk asuransi. “Kami menanyakan beberapa pertanyaan kepada calon nasabah sehingga kami bisa mengetahui apa sih kebutuhan mereka. Dari situ, kami sudah menyiapkan algoritma yang disesuaikan. Misalnya, jika jawabannya A, kemungkinan produk B yang cocok, dan seterusnya,” paparnya.

Cara kerja Asuransi88 adalah menghimpun data dari para calon nasabah dengan beberapa pertanyaan. Setelah mengisi requirement tersebut, muncul sejumlah produk asuransi yang mungkin sesuai dengan kebutuhan calon nasabah, setelah itu muncul sejumlah produk dengan fitur yang tersedia. Misalnya, apabila calon nasabah memilih asuransi kesehatan, sesudah melalui proses input data, muncul produk asuransi kesehatan seperti AXA atau Sinarmas dengan fitur seperti ada santunan dukanya atau tidak, ada ICU-nya atau tidak, dan seterusnya. “Setelah itu apply secara online,” katanya.

Agus mengamati, selama ini masyarakat Indonesia umumnya menempuh proses yang terlalu lama untuk menentukan produk asuransi yang akan dibeli. Calon nasabah juga harus membandingkan satu produk dengan produk lainnya. Ia tak menampik beberapa perusahaan asuransi sudah membuka proses pendaftaran secara online, hanya saja prosedur lain masih menunggu. Selain lamanya proses registrasi, proses klaim untuk mendapatkan uang ganti rugi juga memerlukan waktu lama dengan tahapan yang rumit. Belum lagi, nasabah harus bolak-balik ke kantor perusahaan asuransi terkait untuk memberikan prosedur yang diminta dalam proses pengajuan klaim.

Dalam pandangannya, produk asuransi adalah intangible atau tidak nyata. Karena itu, masih perlu edukasi kepada masyarakat luas. Pasalnya, sejauh ini baru kalangan menengah-atas yang aware benefit asuransi, baik jiwa maupun kerugian. “Oportunitasnya, dari tahun ke tahun, kelas menengah-atas selalu tumbuh sehingga perlu diimbangi dengan tool yang memadai,” ujarnya. Terkait asuransi online, ia menilai masyarakat dewasa ini kian melek teknologi. “Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi secara cepat, khususnya asuransi, dan bisa diakses dari berbagai tempat, juga menjadi oportunitas bisnis ini,” ungkapnya.

Yuono, mitra kerja Asuransi88 dari sebuah perusahaan asuransi, melihat potensi pertumbuhan pasar asuransi, baik jiwa maupun kerugian, makin besar dari tahun ke tahun. “Hal ini dipicu pertumbuhan tingkat pendidikan masyarakat dan pendapatan daerah yang dulunya sebatas masyarakat perkotaan. Potensi bisnis asuransi online juga besar seiring meningkatnya pengguna Internet. Itu sebuah kemudahan yang sangat bagus,” ujarnya. Kemudahan inilah yang membuat pihaknya tertarik bekerja sama dengan Asuransi88.

Diakui Yuono, pertumbuhan penjualan premi lewat saluran online belum signifikan, tetapi ke depan bakal memicu masyarakat aware terhadap asuransi. Namun, imbuh dia, untuk asuransi jiwa, tidak bisa sebatas pendekatan informasi secara online, melainkan perlu interaksi intensif antara seller dan calon nasabah. “Bagaimana cara mereka menjelaskannya, itu berpengaruh untuk mengarahkan pemahaman mereka tentang benefit asuransi jiwa. Jadi, online hanya sebagai pintu masuknya. Untuk follow up-nya, tetap lewat direct selling.”

Bagaimana model bisnis Asuransi88 sendiri? Agus menuturkan, pihaknya melakukan monetisasi dengan membangun sistem. Data dari setiap perusahaan asuransi, yakni berupa produk premi dari berbagai asuransi (seperti Allianz, Zurich, Prudential, Lippo Insurance, AXA dan Manulife) dikumpulkan, kemudian di-list berdasarkan harganya. Apabila premi terjual dari portal ini, Asuransi88 mendapatkan komisi dari perusahaan asuransi. “Jadi, tidak ada margin yang diambil,” kata Agus. Ia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak melakukan upping rate dari setiap produk asuransi yang diambil dari perusahaan asuransi. “Kami memonetisasi itu berdasarkan komisi dari setiap transaksi atau referensi nasabah lewat portal Asuransi88.com,” imbuhnya.

Diakuinya, sampai saat ini frekuensi transaksi yang terjadi dalam sebulan masih dalam tahap pengembangan jumlah transaksi. “Targetnya sih dalam waktu dekat ini bisa mencapai 2.000 transaksi,” ujarnya. Sementara pertumbuhannya diharapkan bisa di atas 50% setiap tahun. Karena itu, untuk meningkatkan awareness Asuransi88, selain menggeber aktivitas melalui above the line, ia juga aktif menyasar beberapa saluran distribusi di jagat maya seperti Facebook, Twitter, Google SEO dan YouTube.

Tantangan Asuransi88 lebih pada belum terbiasanya masyarakat dengan fasilitas online. “Lebih tepatnya, sistem asuransi online itu sendiri,” kata Agus. Produk asuransi adalah intangible, sehingga perlu ada proses edukasi dari tim sales atau agen asuransi untuk tetap meyakinkan konsumen tentang benefit produk asuransi dan harga yang perlu dibayarkan. “Dari partner kami sendiri, mereka tidak mengoperasikan teknologi digital dalam hal seperti ePolis, jadi sebagian masih dilakukan secara manual,” tuturnya.

Terkait investasi, Agus enggan mengutarakan besarannya. “Yang pasti, awalnya saya masih menggunakan uang pribadi untuk itu. Namun sekarang dapat sokongan dari Global Entrepreunership Program Indonesia (GEPI),” ucapnya.

Sekadar info, GEPI didirikan pada Januari 2011 oleh 13 pemimpin bisnis terkemuka di Indonesia. GEPI merupakan bagian dari inisiatif global, yaitu Global Entrepreneurship Program yang dimulai oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan mantan Menlu AS Hillary Clinton. Sejak saat itu, program ini menjadi bagian inti Departemen Luar Negeri AS, dengan tujuan mengembangkan kewirausahaan sebagai pilar utama pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.

Henni T. Soelaeman dan Fardil Khalidi

The post Agus Wibisono, Menjajal Peluang Asuransi Online appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Mandy Madeline P. Hartono Menjadi “Ibu” Para Start-up

$
0
0

Ada yang berubah dari Purwadhika Nusantara. Institusi pendidikan yang dibesut pada 1987 oleh Purwa Hartono ini bergeser fokus haluan. Berganti “baju” menjadi Purwadhika IT Entrepreneur School, fokus lembaga ini adalah mempertajam konsep pendidikan di bidang enjiniring software dengan mengawinkan sertifikasi Microsoft dan kewirausahaan dalam kurikulum pendidikannya. Tujuannya untuk melahirkan tenaga kerja di bidang teknologi informasi (TI) yang siap pakai. Lembaga pelopor pendidikan berbasis cloud computing di Indonesia ini membagi beberapa konsentrasi pendidikan: cloud computing for business, cloud computing for game, cloud computing for mobile, dan cloud computing for robot.

Mandy Madeline P. Hartono

Mandy Purwo Hartono Marketing Manager Purwadhika IT intrepreneur School

Ada program pendidikan satu tahun yang dinamakan IT Startup in Software Engineering yang fokus di teknologi cloud, mobile, dan IoT computing dengan tujuan akhir para peserta akan terjun langsung dalam proyek riil dan membangun perusahaan sendiri. Tak hanya itu, para peserta juga dilengkapi sertifikasi dari Microsoft yaitu MCSD di bidang Programming and Developing ASP.NET yang diakui dunia sehingga para lulusan program ini menjadi tenaga ahli yang dapat bersaing di tingkat global. “Benefit program ini adalah di akhir program, semua peserta akan memiliki their own start-up dan terjun ke proyek riil, yaitu membuat aplikasi software untuk B2B ataupun B2C. Dan tentunya mereka akan memiliki sertifikasi dari Microsoft,” papar Mandy Madeline P. Hartono, anak sulung Purwa Hartono.

Adalah Mandy yang memoles wajah Purwadhika seperti saat ini. Dengan menyasar peserta program minimal lulusan SMA, mahasiswa dan profesional yang sudah bekerja, program ini menyediakan tiga pilihan jadwal untuk mengakomodasi jadwal aktivitas para pesertanya yang berbeda-beda. “Pertemuannya hanya dua kali seminggu, tetapi materinya memang padat dan cukup berat. Para peserta juga tetap bisa menjalani aktivitas utama mereka,” tutur kelahiran Jakarta 15 Januari 1988 ini.

Diakuinya, terobosan yang dilakukan sejak tahun lalu tersebut berangkat dari keinginan untuk memanfaatkan peluang dan potensi aplikasi software yang berkembang pesat seiring semakin tingginya penjualan mobile device yaitu smartphone. “Kini hampir setiap orang, apalagi masyarakat kota, pasti memiliki setidaknya satu device smartphone yang mereka bawa ke mana pun untuk mencari informasi, main game, ataupun get connected dengan media sosial,” paparnya.

Mandy menambahkan, jutaan aplikasi software bisa diunduh dengan begitu mudah di berbagai application store, seperti App Store, Play Store dan Windows Store. Namun, ia menyayangkan, aplikasi software dari Indonesia masih terbilang sangat kurang dibanding pasar asing. Aplikasi yang terkenal seperti Facebook, Twitter, Line, Candy Crush, Instagram dan Path adalah buatan luar negeri, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang penduduknya pengguna terbesar aplikasi tersebut. “Sayang sekali kalau kita hanya menjadi negara konsumen dan tidak menjadi negara produsen. Padahal, kesempatan yang kita miliki sama. Seharusnya kita juga bisa menjadi negara pembuat aplikasi software yang terkenal di pasar asing,” ungkap putri satu-satunya dari empat bersaudara ini.

Untuk melahirkan tenaga ahli berkualitas yang mampu membuat aplikasi software berkualitas, menurut dia, pendidikan – baik formal maupun nonformal – berperan sangat besar. Dan, kurikulumnya tak bisa lagi mengacu pada teori saja. Apalagi di bidang teknologi yang begitu dinamis, pendidikannya pun harus dinamis mengikuti perkembangan yang ada. “Pendidikan yang mengacu pada kewirausahaan dan praktik langsung akan mempunyai keunggulan tersendiri,” ungkapnya. Dengan pendidikan yang mengarah ke dunia kewirausahaan, tambahnya, bukan saja berdampak pada peningkatan jumlah wirausaha, tetapi juga lapangan pekerjaan.

Obsesi itulah yang membawa langkah Mandy ke Purwadhika, bergabung dengan sang ayah, pada 2011. “Ini pilihan saya. Karena saya juga punya passion yang sama dengan ayah saya di bidang pendidikan teknologi informasi,” tutur dara pehobi bermain musik, menyanyi, serta melahap buku tentang teknologi dan pemasaran ini. Bersama sang ayah, ia lantas fokus melahirkan start-up TI melalui program pendidikan yang ditawarkan Purwadhika. “Saya mencoba sedemikian rupa agar memberikan pelajaran yang tidak hanya bicara soal teori, tetapi para siswa digembleng langsung untuk mengerjakan proyek riil dan memiliki real income bahkan sewaktu masih dalam proses belajar,” ungkapnya.

Melalui program IT Startup in Software Engineering with Microsoft Certification ini, ambisinya adalah melahirkan wirausaha aplikasi software dari Indonesia yang dapat dibanggakan dunia, seperti slogannya We Build IT Startup. Program ini memiliki durasi 10 bulan belajar, dua bulan ujian Microsoft Certification, dan 6 bulan berikutnya membentuk perusahaan start-up sendiri.

Menurut dia, respons masyarakat terhadap program satu tahun ini sangat positif. “Ternyata banyak yang memang berniat menjadi wirausaha TI. Kebanyakan dari mereka ingin membuat produk aplikasi baik mobile maupun web,” ujar Mandy yang menempati pos Direktur Pemasaran. Selain menggenjot program satu tahun untuk start-up, ia juga tengah menggeber kursus singkat satu hari untuk siswa SMP dan SMA dalam pembuatan aplikasi game. “Kami buka setiap akhir pekan dan ternyata peminatnya lumayan banyak.”

Saat ini Purwadhika IT Entrepreneur School telah memiliki 7 start-up dengan portofolio klien seperti CIMB Niaga, Puyo Dessert, Sour Sally, Tony Moly dan klien besar lainnya. Start-up ini masih fokus pada produk B2B. Menurutnya, omset start-up tersebut berkisar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. “Saya yakin, ke depan akan lebih banyak lagi start-up yang didirikan melalui Purwadhika IT Entrepreneur School,” katanya. Targetnya, setahun ke depan bisa melahirkan 10 start-up. “Produk start-up yang kami kerjakan adalah aplikasi mobile game, digital sales kit dan software untuk kebutuhan bisnis,” katanya.

Saya berencana membuat start-up incubation ini tidak hanya berpusat di satu lokasi,” ungkapnya. Saat ini kampus Purwadhika baru ada satu di Alam Sutera, Serpong. Mandy berencana segera membuka cabang, tidak hanya di Jakarta tetapi juga merambah luar kota. “Saya berharap start-up dari Purwadhika juga akan banyak melahirkan program aplikasi yang nantinya mendapatkan pendanaan dari investor,” ucapnya.

 

Henni T. Soelaeman

The post Mandy Madeline P. Hartono Menjadi “Ibu” Para Start-up appeared first on Indonesia Youngster Inc..

Viewing all 133 articles
Browse latest View live